Rahasia Perceraian

440 51 1
                                    

KATA Ayah, sejak kecil, aku adalah anak perempuan yang ceria dan tak rewel. Aku adalah anak yang mudah tersenyum dan tertawa, serta mudah berteman dengan anak seumuranku lainnya.

Namun, semuanya berubah 180 derajat sejak aku kehilangan cinta utuh dari kedua orang tuaku sejak aku berusia 13 tahun.

Sejak kedua orang tuaku berpisah, aku tinggal dengan ibuku. Tak sampai setahun bercerai dari Ayah, Ibu menikah lagi dan saat ini tengah mengandung seorang bayi dari pria yang bagiku, selamanya akan menjadi orang asing di mataku. Aku mengerti posisi Ibu. Mungkin, dia butuh seseorang untuk melupakan pria kasar seperti Ayah.

Pria asing itu lebih muda daripada Ibu. Tubuhnya tegap, wajahnya tampan, dan dia adalah orang yang tajir. Dia adalah orang yang baik dan aku tak punya masalah apapun dengannya, hanya saja, aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa aku adalah korban dari keegoisan kedua orang tuaku.

Aku tak mengerti kenapa mereka berpisah. Semuanya baik-baik saja sampai keduanya kerap berdebat. Semakin lama, debat kecil itu berubah menjadi perkelahian yang tak ada ujungnya. Tiap aku ingin berangkat ke sekolah, tiap aku pulang sekolah, tiap aku ingin tidur, bahkan tiap aku sedang tertidur nyenyak. Suara sahutan satu sama lain terdengar di telingaku, selalu merusak hariku.

Aku benci bagaimana Ayah memperlakukan Ibu. Dia hanyalah pria kasar yang tak segan-segan menyakiti wanita. Aku tak menyukainya.

Aku tak pernah tau akar dari setiap perkelahian itu. Perkelahian itu akhirnya membuat keduanya tak mampu lagi memikul rumah tangga di pundak mereka dan memutuskan untuk berpisah. Cinta yang dimiliki oleh keduanya pun patah, yang tersisa hanyalah dua keping hati yang merasa asing satu sama lain.

Aku tau, mereka masih bisa memberikanku kepingan cinta yang mereka miliki. Namun, sayang, tak semua orang bisa menerima sesuatu yang patah. Kebanyakan orang mengharapkan barang yang utuh.

Aku marah kepada mereka. Aku marah kepada Ayah, Ibu, bahkan kepada papa tiriku yang tak salah apa-apa. Aku juga tak suka kepada adikku yang satu ibu, aku marah kepada siapapun. Aku marah kepada semua orang, aku marah kepada semesta, kenapa orang lain bisa mendapatkan cinta yang utuh dan orang tua yang baik, sedangkan aku tidak? Bukankah ini tak adil?

Sejak itu, aku kerap kesulitan dalam mengontrol emosi. Aku sering marah kepada hal kecil, sehingga tak satupun orang mau menjadi temanku. Semuanya takut kepadaku. Tak sampai di situ, semuanya semakin rumit ketika aku mendapati diriku sendiri menderita penyakit mental.

Penyakit mental itu mengantarkanku kepada kebencian yang lebih dalam lagi kepada masa laluku dan kenyataan akan keberadaan diriku. Dalam pikiranku, kalau saja bukan karena perpisahan kedua orang tuaku, mungkin aku tak perlu menderita seperti ini.

Aku selalu memotong pendek rambutku dan menyakiti tubuhku. Bagiku, itu adalah hal yang bisa membuatku lega, setidaknya untuk sesaat.

Semuanya terjadi seperti itu sampai aku menjadi orang dewasa dan bertemu dengan seorang pria yang sepantaran denganku. Namanya Doni.

Dia memutarbalikkan duniaku yang gelap. Bersamanya, aku menjadi orang yang lebih baik. Bersamanya, aku bisa mengukir senyuman kembali, setelah bertahun-tahun lupa caranya untuk tersenyum. Dia memberikanku segala yang kubutuhkan, cinta dan perhatian. Dia mengerti akan diriku dan tak pernah menganggap penyakitku sebagai sebuah aib.

Kami berpacaran selama setahun sampai dia memutuskan untuk melamarku. Aku pun menikah dengannya, ikut ke kota asalnya yang jauh dari orang tuaku. Dia membuatku kembali merasakan bagaimana hangatnya sebuah keluarga. Meskipun dia selalu sibuk dan tak memiliki banyak waktu di rumah, tapi itu sudah cukup karena setidaknya, aku tau bahwa kami saling mencintai dan aku akan selalu menjadi tempatnya untuk pulang.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang