Yamauchi

124 15 1
                                    

"MENURUT lo gimana? Gue harus memilih warna item atau merah?" tanya Resi mengangkat dua gaun yang dihanger, menaikkan satu alisnya, penasaran dengan pendapatku.

"Menurut lo wajah gue kondisinya lagi mood gak untuk mikirin gaun?" tanyaku balik, mengusap air mataku dengan secarik tisu. Ini sudah tisu yang ke sebelas.

"Ah, come on, Se. Masa lo ngesampingin acara angkatan demi cowok?" Resi berkecak pinggang. "Acara ini sesuatu yang udah kita  tunggu-tunggu, kan?"

Beberapa hari yang lalu, aku memergoki pacarku, Ray, mengantarkan teman perempuannya pulang. Katanya, perempuan itu tidak memiliki tumpangan. Kebetulan, rumah mereka searah sehingga Ray sekalian mengantarkannya pulang. Namun, sejak itu, perempuan itu jadi mendekati Ray, seakan-akan tidak ada aku, seorang perempuan yang berstatus sebagai pacar Ray.

Aku berpacaran dengan Ray sejak kami baru masuk kuliah. Kami ada di fakultas yang sama, seangkatan, bahkan satu kelompok ketika ospek sehingga Ray adalah orang yang lebih dekat denganku dibanding siapapun di angkatan. Kami masuk kuliah ketika kasus pandemi sedang berada di angka tertinggi sehingga acara angkatan milik kami baru bisa diselenggarakan ketika kami sudah duduk d semester empat.

Ray adalah lelaki yang baik. Dia tampan dan atletis. Semua orang suka padanya, siapa yang tidak? Dia juga terkenal di kalangan adik tingkat karena wajahnya yang rupawan. Menurutku, Ray adalah pacar yang clingy. Sekeren dan semaskulin apapun dia di hadapan para perempuan itu, dia adalah seorang adik manis ketika bersamaku.

Hubungan kami berjalan dengan sangat baik selama ini. Kami menghabiskan banyak waktu bersama. Aku suka John Mayer, dia tak suka John Mayer, tapi dia berusaha untuk suka dan mendengarkan lagu-lagu John Mayer agar dia bisa memainkan lagu itu untukku. Ada banyak hal yang kami sukai bersama juga, seperti hamburger dan kami yang selalu mengadakan 'hamburger hunter' tiap akhir bulan. Ray adalah teman sekaligus pacar, bagiku.

Namun, akhir-akhir ini, entah kenapa hubungan kami merenggang.

Aku tak mengerti dengan jalan pikirnya yang terkadang kekanakan, kuakui itu. Dia yang tak bisa berpikir jauh ke depan sebelum bertindak, lalu dia yang terkadang seenaknya terhadap perasaanku. Dia mengantarkan teman perempuannya pulang, mungkin itu adalah niat yang baik, tapi apakah dia tak memikirkan perasaanku setelahnya? Perdebatan yang harus kami lalui setelahmya, atau mungkin temannya itu bisa saja salah mengartikan kebaikan Ray dan mulai menyukai Ray. Aku tak mengerti betapa Ray selalu begitu sembrono akan banyak hal.

"Ilse, nyawamu masih di situ?"

Aku tersentak, lamunanku buyar ketika seseorang melambaikan telapak tangannya tepat di depan wajahku. Aku pun mendongak, menatap seorang lelaki dengan senyuman khasnya yang tengah berdiri di hadapanku dengan kemeja putih rapi, rambut yang cokelat tua, dan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Hiro," ujarku, menghela napas. "Sejak kapan kamu di sini?"

"Belum lama," jawabnya. "Kamu lagi ngapain? Lagi pelan-pelan menyebabkan erosi, hutan gundul, dan bikin oksigen menurun?"

Aku menatap sekelilingku. Sofa yang kududuki penuh dengan tisu. Oh. Maksudnya, aku menggunakan tisu terlalu banyak.

"Bahasa kamu selalu ribet," kataku. "Kamu ngapain di sini?"

"Aku kebetulan lewat Plaza Blok A dan gak sengaja liat hamburger warna ungu," kata Hiro, menyodorkan makanan yang masih tertutup rapi dengan bungkusan makanan. "Mumpung sebulan ini kamu belum hunting hamburger sama pacarmu, yaudah aku beliin biar bulan ini tetep makan hamburger."

"Lucu banget," Aku tersenyum ketika membuka bungkusannya. "Kaya krabby patty yang dikasih jelly ubur-ubur di salah satu episode Spongebob."

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang