Tetangga

159 16 0
                                    

Ada tetangga baru di kompleks kami. Mereka adalah pasangan muda yang sepertinya baru menikah. Mereka tampak bahagia dan memiliki finansial stabil, bisa dilihat ketika mereka biasanya mendatangi acara yang digelar oleh tetangga. Wajah rupawan dan sifat yang santun. Namanya Ibra dan Elsi.

"Tapi, aku gak yakin mereka pasangan suami istri yang harmonis. Aku sering denger mereka berantem, soalnya halaman belakang kita cuma dipisahin tembok. Aku juga sering denger suara pecahan kaca gitu, kaya orang lagi berantem," ujar Pak Singh, ketika kami baru saja pulang dari pengajian di kompleks ini. Kami duduk melingkar dan saling pandang ketika Pak Singh mengeluarkan statement begitu.

"Istriku juga bilang kalau Mbak Elsi itu ada bekas lebam di lengannya waktu kemarin mereka lagi kumpul arisan," tambah Pak Cokro. "Kupikir, kalau emang bener ada KDRT di rumah itu, kita harus cepat bertindak. Jangan sampe kita sebenernya tau, tapi malah gak nyelamatin korban. Kasian."

Akhir-akhir ini memang ada yang berbeda. Pasangan muda yang baru menikah setahun dan belum dikaruniai buah hati itu awalnya dikira harmonis, tapi makin kesini, selama sebulan ini, tak jarang tetangga sekitar mendengar suara teriakan perempuan dan pecahan kaca. Kupikir, hanya aku yang mendengar keributan itu karena kebetulan rumahku pas di sebelah rumah mereka, tapi ternyata tetangga sekitar juga mendengarnya.

Aku adalah seorang bujangan yang baru berusia 25 tahun. Aku tinggal sendirian. Pagi sampai sorenya sibuk sebagai pekerja kantoran, jadi aku hanya mendengar suara keributan itu pada malam hari.

Sampai suatu hari, aku mendengar suara keributan itu lagi. Aku bergegas keluar rumah, memastikan bahwa keributan itu memang berasal dari rumah Ibra dan Elsi, lalu berniat untuk menelepon polisi. Namun, tepat ketika aku baru saja keluar dari perkarangan rumahku, Elsi berlari keluar dari rumahnya sambil memegangi lengannya sambil menangis kesakitan. Aku segera berlari menuju Elsi dan membantunya berdiri dengan benar.

Kedua mataku melebar ketika aku bisa melihat dengan jelas bahwa ada tulang yang menonjol di lengannya, bukti bahwa lengannya baru saja patah. Ralat, dipatahkan.

"Kamu gapapa?" tanyaku, segera menuntun Elsi ke rumahku. Elsi masih menangis kesakitan memegangi lengannya. "Suamimu masih di dalem rumah? Kita harus ke rumah sakit sekarang."

Elsi mengangguk pelan. Akupun menyiapkan mobilku, lalu segera menuju rumah sakit. Di tengah perjalanan, kami tak berbicara apapun karena aku lebih fokus dengan rasa khawatirku dan Elsi pun pasti lebih fokus dengan rasa sakit yang saat ini dia rasakan. Menurutku, tak ada yang lebih menyedihkan daripada melihat perempuan yang menangis kesakitan karena ulah laki-laki, apalagi notabenenya adalah suami sahnya.

Setibanya di rumah sakit, dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan penunjang, tapi Elsi dengan keras menolaknya. Dari sorot matanya, aku tau dia sangat ketakutan dan tak ingin suaminya tau kalau dia baru saja pergi ke rumah sakit, apalagi dengan laki-laki lain.

"Kamu masih mau pulang ke rumah itu?" tanyaku dengan tangan yang ada di setir dan mata yang fokus ke depan. "Kalau kamu masih tetep tinggal di situ, bisa-bisa dia bunuh kamu."

"Ya... tapi, aku gak punya pilihan, Ki," jawab Elsi, menghela napas kasar. "Maaf ya, kamu jadi repot malem-malem gini."

"Terus, gimana kalau kamu keluar rumah dan pulang semalem ini? Dia bakalan ngehajar kamu lagi?"

Elsi menggelengkan kepalanya. "Aku yakin, dia udah tidur karena mabuk. Dia itu alcoholic, Ki. Dia sering hilang kendali kalau udah mabuk."

Aku hanya bisa menghela napas berat. Aku bukan siapa-siapanya, aku hanya tetangga yang tadi kebetulan mendengar keributan itu dan hanya ingin menolong orang yang kesakitan karena suami yang pemabuk. Di luar itu, aku tak bisa melakukan apapun. Aku tak bisa membantu apapun.

My Cerpens; Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang