DM 61 || DEPRESI

2.6K 549 141
                                    

Dekap selagi masih ada, karena jika tanah sudah memeluknya, kau akan kehilangan untuk selamanya.

Karnaya Ralnadhiya


Kediaman keluarga Grispara keturunan kedua yang tak lain adalah tempat tinggal Naya kini dibanjiri oleh orang-orang berseragam hitam yang tersirat duka diwajah mereka.

Bendera kuning yang dibawahnya terdapat papan bertuliskan Rabil Ivanderclovis telah terpasang di pagar rumah.

Kematian Rabil yang belum jelas diketahui penyebabnya membuat Polisi turut hadir di rumah duka. Keluarga almarhum Bodyguard setia keluarga Grispara itu pun telah tiba dari Kalimantan, mereka bertanya-tanya apa penyebab kematian Rabil, namun seseorang yang terakhir kali bersama beliau tak sedikitpun membuka suara.

"Pa, Bunda di mana?" tanya Marva pada Arga dengan suara serak karena tak berhenti menangis semalaman.

"Bunda kamu masih di kamar, kayaknya dia masih shok karena kejadian ini. Papa takut dia depresi lagi, Va." Arga menghela napas panjang.

"Aa benar-benar gak habis pikir, kenapa Om Rabil lompat dari gedung? Kado dari Om Rabil untuk pernikahan aku sangat mengejutkan, Om Arga," ceplos Jio sambil geleng-geleng kepala.

Arga menepuk-nepuk bahu Jio, "kamu yang sabar ya? Mending kamu temenin Marva, dia kelihatan terpukul banget."

Jio melirik Marva yang kini kembali duduk di samping jenazah Rabil, Marva nampak tersedu-sedu ketika membacakan surat yasin. Laki-laki itu memang sangat dekat dengan Rabil, sejak kecil Rabil selalu ada untuk Marva layaknya menjadi pengganti Gatra sebagai sosok Ayah.

Vasya menatap miris suaminya, mengapa kesedihan senantiasa membayangi Marva? Apa dosa yang telah Marva perbuat di kehidupan sebelumnya sehingga dia mengalami ini semua?

"Mimu," panggil Pradipta yang duduk dipangkuannya.

"Iya, Nak?"

"Kenapa Pak Abil tidulan di lantai? Kenapa gak bangun-bangun, padahal di sini belisik?" Pradipta bertanya sambil mendongak menatap Vasya dengan wajah polos.

"Sayang, Pak Rabil nya gak bisa bangun lagi. Dia udah dipanggil sama Tuhan," jawab Vasya sambil mengelus poni bocah laki-laki itu.

"Emm, kok Tuhan jahat sih dah bikin Pak Abil gak bisa bangun agi?" Pradipta memiringkan kepalanya.

"Bukan begitu, Bang Didip. Justru Tuhan sayang banget sama Pak Rabil, mangkanya dia mau Pak Rabil datang menemuinya."

Pradipta manggut-manggut mengerti, dia mengetukkan jari telunjuknya yang kecil ke dagu seolah sedang berpikir keras.

"Belalti Tuhan gak sayang Abang ya? Abang gak dipanggil tuh sama Tuhan," cetusnya sambil berdekap dada.

Vasya geleng-geleng kepala, Pradipta ini merupakan anak yang kritis, dia selalu menanyakan suatu hal sampai ke akar-akarnya, terkadang dia bingung sendiri harus menjawab apa.

"Belum waktunya, Nak," jelas Vasya sambil mengecup pipi Pradipta, berharap bocah itu tak bertanya lagi seperti 'kapan waktunya Mimu?'

"Mimu kok gak ikut baca buku yang dipegang Papia? Papia aja baca tuh." Si bontot menyeletuk sambil menunjuk Marva yang sedang membaca yasin.

Different Marvasya [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang