Mobil itu berhenti di pekarangan rumah besar itu, Ayres turun dari mobil. Memutar berniat membuka pintu mobil Xan.
"Ayo" katanya berusaha meraih Xan."Nda! Mo aunty! Ddy galak, pundun San atit temua na!" Xan menolak, sebenarnya bukan karena Ayres galak. Namun ia takut, punggung sudah sangat sakit akibat benturan tadi saat Ayres mendudukkan nya di seat sebelah kemudi.
Tanpa mempedulikan Xan yang memberontak Ayres menggendong Xan ke kamarnya, mengunci kamar dari luar agar Xan tidak pergi kemanapun.
Setelahnya Ayres kembali turun ke bawah. Dibawah, para pengawal yang mengawal Xan sudah berkumpul, bersiap menerima segala konsekuensinya yang akan mereka dapat. Jujur saja, mereka tidak bilang juga ada alasannya. Dan itu pun menyangkut nyawa mereka juga.
Pertama, mereka tau mereka salah karena tidak izin pada tuan besarnya. Namun karena mereka sudah setengah jalan, dan juga mereka sudah mengatakan bahwa mereka akan membawa Xan ke rumah nona Stela. Jika tiba-tiba mereka bilang tidak jadi pergi ke rumah nona Stela, maka Xan akan menangis. Dan itu juga akan membuat nyawa mereka semua terancam.
Kedua, jika mereka bilang kepada tuan besar akan pergi ke rumah nona Stela. Pasti tidak akan diizinkan, lagipun Xan yang sudah berpakaian rapi pasti akan merengek ingin pergi juga.
Semuanya menjadi serba salah.
"Kalian tidak izin?" Tanyanya pada seluruh bawahannya, tidak ada yang menjawab.
"Kalian tuli?" Tanyanya lagi, sontak mereka semua menggeleng.
Ayres menghela nafas. "Bodoh, sudah berapa kali saya bilang kalau Xan tidak diizinkan keluar rumah tanpa izin dari saya, huh?"
"Maaf" salah satu dari mereka membuka suara yang amat kecil itu.
"Bukankah kalian tau musuhku belum ada yang mengetahui kalau Xan ada? Mengapa kalian membawanya keluar, dan hanya pengawasan kecil yang mencolok seperti itu?" Ayres berdecih.
Mereka tak bergeming, hanya diam. Salah satu maid disana sudah ketar-ketir, ia hanya terus merapalkan doa dalam hatinya agar kekasihnya baik-baik saja.
"Sepertinya hukuman kecil bukan masalah" katanya sambil memasang seringai andalannya.
>>><<<
"San nda cuka ddy, tu ukan ddy. Ddy nda angly tama San, ddy baik" Xan masih terisak di kamarnya, sudah diputuskan bahwa ia takkan berbicara dengan Daddy nya. Sedikit pun.
Xan berdiri dari duduknya, ia berjalan ke laci sebelah kasurnya. Mengambil sebuah jam tangan pemberian dari sang paman dulu, Jay.
Ia memandang bingung jam tangan itu, bagaimana cara menggunakannya? Jay bilang dulu ia hanya perlu menekan tombol disana, lalu akan tersambung lewat via telepon dengan Jay.
"Ana mbol na?" Tanyanya sambil sesekali menarik ingus yang turun dari hidungnya.
Saat ia sibuk mengutak-atik Jam tangan itu, suara lubang kunci yang diputar membuat Xan segera naik keatas kasur dan menutup dirinya dengan selimut.
Ceklek
"Xan?" Panggilnya lembut, ternyata itu Ayres.
Ia melangkah mendekati ranjang Xan, melihat Xan yang menutup dirinya dengan selimut membuat Ayres tersenyum tipis. Wajah anaknya yang memerah juga puncak hidung yang seperti badut membuat Ayres merasa bersalah. Apalagi saat ia tak mengindahkan ucapan Xan tentang punggungnya yang sakit.
Ayres duduk di sisi ranjang Xan, tangannya terulur guna mengelus lembut punggung yang sedari tadi menjadi puncak kekhawatirannya.
"Maaf, harusnya Daddy tak se-kasar itu. Nanti kita periksa kenapa punggung mu bisa sakit, okay?" Lalu setelah itu kecupan singkat diterima Xan di dahinya, lalu terdengar suara pintu kembali tertutup tanpa dikunci.Xan yang pura-pura tertidur itu kembali duduk, mengambil jam tangan dibawah bantal. Kembali mengutak-atik alat itu, lalu tiba-tiba jam tangan itu menyala.
Tertera nama Jay disana, Xan menekannya. Suara nada dering panggilan membuat Xan tersenyum, ia berhasil menelpon pamannya.
"Halo?" Suara berat itu menyapa Indra pendengarannya.
"Uncle? Ini San! San mo ama uncle aja, ddy angly. Tepala San juda atit~" katanya sambil memegang kepalanya yang sedikit pusing.
Jay disana sudah panik, ia takut kakaknya menyakiti ponakannya. Walaupun itu takkan terjadi, ia tetap saja harus siaga. Kakak nya bukan orang sembarangan.
"Xan ada di mana sekarang?" Tanyanya dengan nada tenang.
"Di kamal, adi dikunci api uda di uka agi~" kata Xan berusaha mendeskripsikan yang terjadi.
"Oke-oke, jangan kemana-mana. Tetap disana sampai uncle datang" lalu panggilan terputus, Xan hanya mengangguk.
Xan tadinya ingin tidur, tapi suhu udaranya tiba-tiba menjadi dingin. Membuat Xan turun dari ranjang dan mengambil sweater tebal panda nya di lemari gantung kecil yang masih bisa di gapai oleh Xan.
"Dinin~"
🍼🍼🍼
Note:
Hm, beberapa dari kalian pengen yang kebarat-baratan. Jujur dulu boleh ga nih? Pas nulis cerita ini tuh memang yang ada di pikiran Rin itu Mark Lee, maka dari itu Rin juga pasang disini..
Media Vernon Seventeen
Masih ngerasa kurang cocok? Bisa bilang ya( ╹▽╹ )Kalau tanya, kenapa ga seleb/artis Hollywood? Jawabannya karena Rin ga mau pake asal cast, main ambil ini atau itu. Intinya Rin ga tau nama mereka siapa, kalau kalian ada rekomendasi bilang oke
ෆ╹ .̮ ╹ෆEhehehe, makasih loh ya.. followernya tembus 200😭 Ats pencapaian ini Rin usahakan update setiap hari 😤
Tapi vote harus tembus 200 & 30 komentar ( ◜‿◝ )Loh, Xan kenapa tuh? Jangan-jangan sakit lagi nih? Kan baru sembuh..
Hug Xan please, hng? - Xan

By. Pinterest
KAMU SEDANG MEMBACA
Mafia Widower
Teen Fiction⟨⟨END⟩⟩ "Hiks... Hiks..." Seorang anak kecil menangis dibawah pohon besar dekat taman, mengalihkan atensi seorang gadis yang tengah termenung tak jauh dari posisi anak itu. Dengan inisiatif gadis itu menghampiri sang anak, mendekat. "Hei manis~ kena...