"Miskin sekali tidak membawa buah tangan sama sekali" cibir Jay, sembari memasang raut wajah julid.
Ayres yang tidak terima berbicara. "Sudah saya suruh seseorang untuk membeli dan membawanya kesini" jawab Ayres dengan wajah jengkel.
"Ciri-ciri tidak niat" balas Jay.
Baru saja Ayres ingin membalas lagi ucapan Jay, lebih dulu Stela menyela. "Sudahlah, jangan kaya anak kecil. Lagian kak Ayres udah bilang kalau dia udah suruh orang buat bawa buah tangan" sela Stela cepat tanpa menoleh, ia masih sibuk memperhatikan Xan yang juga sibuk membaca buku cerita.
"Lebih baik lo makan, dari pada merhatiin bocah gendut itu" ujar Jay, saat ingat kalau Stela belum makan.
Stela hanya menoleh, menatap Jay sebentar lalu mengangguk. Kemudian ia kembali menatap Xan yang terlihat lucu dengan wajah seriusnya saat membaca buku cerita yang bahkan belum ia pahami. Walaupun ia sudah bisa menulis -hanya namanya dan Ayres- dan juga membaca, ia belum bisa mengerti apa isi buku di hadapannya itu.
"Xan udah makan?" Tanya Stela. Xan menoleh kemudian menggeleng pelan, Stela tersenyum.
"Makan bareng aunty tuk!" Ajaknya sambil membawa Xan kedalam gendongannya, Xan dengan senang hati menerimanya.
Ayres yang melihat itu ikut bangkit, membuat Stela spontan bertanya. "Mau ikut kak?" Tanyanya pada Ayres, pria itu mengangguk.
"Aku sama Xan aja kak, kakak disini jagain Jay" kata Stela sambil menoleh pada Jay.
"Untuk apa? Dia sudah besar" jawab Ayres tak terima.
"Yak! Lo pikir gue mau, hah?!"
"Jay! Kan lagi sakit, harus dijagain. Nantikan kalau mau ke kamar mandi ada yang antar" kata Stela sambil meraih tas selempang nya yang berada di atas sofa yang tadi diduduki Ayres.
"Kalian disini baik-baik, jangan berantem. Aku cuma ke kantin rumah sakit aja kok, sebentar juga balik lagi" kata Stela sambil membuka kenop pintu, kemudian menoleh pada dua pria yang saling melemparkan tatapan sengit itu.
"Dadah~" Xan melambaikan tangannya, dengan wajah polos yang ia senderkan pada pundak Stela. Membuat pipinya seperti ingin tumpah.Blam
Pintu kembali tertutup, menyisakan Ayres dan Jay yang masih menatap satu sama lain sengit itu.
"Apa?" Tanya Jay saat Ayres tak mengalihkan tatapannya dari dirinya.
Ayres mengerutkan keningnya. "Apa?"
"Lo yang apa, ngapain ngeliatin gue kek gitu? Gue tau gue ganteng, ga usah tersepona" katanya narsis.
"Terpesona bodoh!" Ucapnya mengoreksi.
Jay memandang remeh pada Ayres. "Dasar orang tua, tidak tau bahasa gaul" jawabnya sambil mencoba meraih jeruk yang merasa di meja sebelah kirinya.
Karena tangan kirinya patah, jadi dengan susah payah ia mencoba meraih jeruk itu dengan tangan kanan. Punggungnya juga terasa sakit, jadi ia tak bisa memutar tubuhnya secara utuh. Hanya sedikit.
Ayres yang melihat Jay kesulitan menghela nafas. Walaupun terkadang adiknya itu menyebalkan, Jay tetaplah adiknya. Ia juga harus bisa membawa Jay kembali pulang ke rumahnya, tanpa wanita itu yang pasti.
Pria itu mendekat, menghampiri Jay dan mengambil lebih dulu jeruk itu. Mengabaikan tatapan tak terima dari Jay, ia duduk di kursi sebelah tempat tidur pasien. Membuka kulit jeruk itu sampai bersih.
"Jika tidak bisa bilang, jangan sok-sokan mampu padahal tidak" perkataan Ayres membuat Jay mendengus.Duda beranak satu itu menyodorkan jeruk yang sudah dikupas pada Jay, dan Jay dengan senang hati menerimanya. Lumayan.
"Terimakasih" Ayres hanya mengangguk.Hening, hanya ada pergerakan dari Ayres dan juga Jay tanpa suara. Sampai Jay membuka percakapan terlebih dulu.
"Andai lo tau kejadian yang sebenernya dulu, kota pasti masih satu atap"Ayres menoleh, menatap Jay tanpa mencoba menyela atau memotong perkataan Jay.
"Bukan bubu yang bunuh ayah, juga istri lo" Ayres menghela nafas, ini percakapan yang cukup sensitif."Kenapa bahas itu?" Tanya Ayres.
Jay mengangkat bahu acuh, mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Cuma mencoba meluruskan sesuatu" jawabnya enteng.
"Otak mu sudah tercemar" ucapan Ayres membuat Jay kesal.
"Justru mama disini yang salah. Lo ga tau kejadian yang sebenernya, disini bukan bubu yang salah. Bubu cuma ada ditempat itu waktu kejadian, bukan berarti bubu yang salah"
"Tapi salah satu maid disana saksinya" sela Ayres.
"Hanya satu, kan?" Pertanyaan itu membuat Ayres diam, karena itu memang benar.
"Dari sekian banyak maid, hanya satu yang bilang kalau bubu yang salah. Dan lo, percaya gitu aja. Cuma karena lo terlalu sayang sama mama, dan itu berlebihan. Lo rela ngelakuin apapun yang mama suruh tanpa bantahan sedikitpun. Dan apa yang lo bilang 'kakak ngelakuin ini karena mama bilang ini demi kita semua' gitu?" Ayres diam.
"Terus apa yang lo lakuin? Ambil uang, kartu kredit, serta harta benda berharga milik ayah diam-diam cuma demi mama? Lo gila" Jay memperhatikan Ayres yang menunduk, Ayres juga yang diam-diam membenarkan ucapan Jay yang memang adalah kebenaran.
"Tapi bukti nya ada. Bubuk itu bahkan ada didalam dompet wanita itu" Ayres masih bersikeras membela mama nya.
Jay berdecih. "Oke, gini aja. Siapa yang jadi saksi dan siapa yang bawain dompet bubu ke bawah?"
Ayres semakin bungkam. "Orang yang sama bukan?" Tanya Jay.
"Dan nyatanya ada satu saksi lain" pernyataan yang Jay berikan membuat Ayres mengerutkan alisnya bingung.
"Siapa?"
"Gue"
🍼🍼🍼
Note:
Halooo~
Ya Allah malem banget ini update nya😭
Sebenernya Rin lupa kalau belum update, tadi ke wattpad kirain udah update ternyata belum.. pantes aja ga ada notifikasi masuk😭Hm, book ini keknya bakal tamat cepet ga si? Konflik kek tinggal satu gitu...
Mau liat Xan ga?
By. Pinterest
KAMU SEDANG MEMBACA
Mafia Widower
Teen Fiction⟨⟨END⟩⟩ "Hiks... Hiks..." Seorang anak kecil menangis dibawah pohon besar dekat taman, mengalihkan atensi seorang gadis yang tengah termenung tak jauh dari posisi anak itu. Dengan inisiatif gadis itu menghampiri sang anak, mendekat. "Hei manis~ kena...