DEWA memijat pelipisnya yang terasa pening. Selama sehari, ia sudah bolak-balik sebanyak tiga kali ke toilet hanya untuk memuntahkan cairan bening. Sebenarnya, hari ini ia meliburkan diri. Namun karena ada meeting yang tak bisa ditunda, akhirnya Dewa memaksakan untuk datang disaat tubuhnya kurang fit.
Lelaki itu menghembuskan napas lega saat rapat mereka telah selesai. Buru-buru ia bangkit dan menghampiri sekretaris nya.
"Sena, nanti tolong kamu kirimkan salinan meeting tadi ke email saya." ucap Dewa sambil menutup mulutnya.
Si sekretaris menatap Bos nya itu heran. Dirinya bau kah? "Baik, Pak."
Karena sudah tak tahan. Dewa berlari ke toilet yang berada di ruangan nya dan kembali memuntahkan cairan bening untuk yang kesekian kali. Dewa menatap pantulan dirinya di cermin, sangatlah berantakan.
Sial. Hanya karena mengendus wangi parfum Sena saja dia sudah dibuat mabuk akan baunya yang menyengat. Bagaimana bisa ia bekerja dengan tenang kalau begini caranya?
Setelah membersihkan sudut bibirnya. Lelaki berjas abu itu keluar dari toilet, ia ingin segera cepat pulang dan bermanja dengan istrinya.
"Papi!"
Gerakan tangan Dewa yang tengah merapihkan laptopnya terhenti saat mendengar seruan dari arah pintu ruangannya yang terbuka. Sesaat Dewa menepuk jidat, bisa-bisa nya ia lupa untuk menjemput jagoannya di sekolah.
Dewa meringis saat tatapan tajam Raga--anaknya--terus mengarah kerahnya. "Astaga, Papi lupa sayang." ucap Dewa sembari mendekati anaknya yang sedang bersidekap dada.
"Raga pulang sama siapa? Mami yang jemput?" tanya Dewa lagi.
"Sama gue," sahut seseorang yang baru saja masuk kedalam ruangan Dewa.
"Dandi," gumam Dewa pelan. "Thank's bro!" Dewa bersalaman ala lelaki dengan teman masa SMA nya dulu.
"Yo sans! Lagian gue juga sekalian jemput anak gue." balas Dandi. "Ca, salim sama Om Dewa."
Fyi, Dandi juga telah menikah dengan perempuan pilihan orang tuanya.
Bocah perempuan yang hanya setinggi lutut Dandi itu tersenyum lebar. Lalu menyalimi tangan Dewa. "Halo, Om ganteng. Aku Caca, calon pacalnya Gaga."
Dewa tergelak mendengar penuturan bocah TK itu. Ia mengusak kepala Caca gemas. "Masih kecil, belajar dulu yang bener. Baru pacaran, oke?"
Dandi meringis melihat kecentilan anaknya itu. "Tuh dengerin! Kan Papa udah bilang berkali-kali. Kamu tuh masih piyik! Gak boleh pacaran!"
"Yahh. Telus aku kapan dibolehin pacalan sama Gaga, Pa?" Caca mendongak menatap sang Ayah.
"Heh! Anak siapa sih lu?! Centil bener.." Dandi mengusap dadanya sabar. Perasaan dulu waktu buatnya pake bismilah. Kok jadinya begini?
Raga yang hanya jadi penonton memutar bola matanya malas. Baginya, Caca itu meresahkan. Ia selalu ada di manapun Raga berada. Dan hal itu berhasil membuat Raga risih karena merasa dibuntuti.
Dewa tertawa melihat interaksi Ayah dan anak didepannya itu. Sepertinya, Dandi tertekan mempunyai anak seperti Caca.
"Gaga, kalau udah besal kamu mau, kan, jadi pacal aku?" tanya Caca pada Raga.
Kini semua tatapan beralih pada Raga yang hanya menampilkan raut datar. Bocah berseragam TK itu mendengus. "Nggak. Kamu bukan tipe aku."
"Anjir," Dandi sebisa mungkin menahan untuk tak tertawa. Gile, harga dirinya sebagai bapak hancur ngeliat anaknya ditolak didepan matanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
SADEWA (END)
Teen Fiction"Kopi sama susu aja bersatu, masa kita enggak?" *** Dewa, mendengar namanya saja mungkin sudah tidak asing lagi bagi warga Mutiara. Selain karena parasnya yang tampan, dia juga punya segudang kelebihan yang se...