Inner Child

292 0 0
                                    

(つ≧▽≦)つ Happy Reading (つ≧▽≦)つ

Sosok itu tersenyum kecil pada Seraphina. Di sela-sela tangisannya, gadis itu bertanya pada sosok yang menyatakan bahwa dirinya Dewa Utama itu, "Kalau begitu, mengapa kau mempertemukanku dengan Elios padahal kau tahu bahwa kami tidak akan bisa bersama."

"Karena aku ingin mengobati luka pria itu."

"Elios? Elios juga terluka?"

"Apa kau percaya bahwa Elios dan Alara memiliki luka yang sama?"

"Mereka.. mereka juga tidak bisa bebas?"

"Benar. Sejak mereka lahir di dunia ini, mereka sudah ditetapkan oleh kedua orang tuanya untuk menjadi apa yang kedua orang tuanya inginkan. Bedanya, Alara masih bisa untuk tetap bersikap waras, sedangkan Elios tidak. Itu kenapa aku mempertemukan kalian agar Elios bisa berpikir dengan jernih."

"Tapi kenapa? Kenapa mereka harus mengalami hal itu?"

"Siapa yang paling tidak kau sangka di antara mereka yang memiliki luka paling berat?"

"Mereka semua. Mereka semua memiliki luka yang sama beratnya."

"Benar tetapi Carissa cenderung lebih bisa mengekspresikan perasaannya daripada Alara. Gadis itu memakai topengnya dengan cukup baik."

Untuk saat ini, Seraphina tidak bisa berhenti untuk tidak menangis. Hatinya terus-terusan berdenyut nyeri. Ia bahkan tidak tahu harus bagaimana untuk menyingkirkan rasa sakit itu.

"Aku memperlihatkan hal ini padamu agar kau tidak ragu untuk memihak dan melindungi teman-temanmu. Itu karena kau tetap akan menjadi kunci untuk kedamaian Kekaisaran Erde ini sendiri. Maka dari itu, kau harus menyiapkan diri dengan kuat."

"Apa kau mengerti, Seraphina?"

Sosok itu menghela napasnya sejenak, "Sekarang bangunlah, Seraphina Ivander."

Perlahan, cahaya putih yang sangat terang tadi tergantikan dengan cahaya hitam. Tidak ada yang bisa Seraphina lihat karena tiba-tiba semuanya menjadi sangat gelap dan entah apa yang terjadi ia terbangun dengan napas yang tersengal dan wajah yang basah.

"Sudah bangun?"

Seraphina tersentak ketika mendengar suara itu. Ia menoleh dan mendapati angin sedang duduk di jendela kamarnya. Pria itu berjalan ke arah Seraphina dan menyeka wajah gadis itu menggunakan tangannya.

"Aku datang kemari karena tiba-tiba hatiku terasa sakit. Saat aku melihatmu, kau sudah menangis dalam tidurmu. Apa mimpimu seburuk itu?"

Seraphina menggelengkan kepalanya tetapi air matanya terus-menerus keluar tanpa bisa ia hentikan. Ia bahkan masih terisak. Angin yang menyadari hal itu, tersenyum.

"Kau tidak cocok menangis seperti ini. Lihat? Wajahmu menjadi benar-benar jelek."

Meski berkata seperti itu, Angin terus-menerus menyeka air mata gadis itu. Pria itu menghela napasnya sebelum ia benar-benar memeluk Seraphina. "Aku tidak tahu apa yang membuatmu benar-benar merasa sakit seperti ini tetapi semuanya akan baik-baik saja. Kau tahu itu, bukan?"

"Aku.. aku hanya merasa bersalah. Aku benci diriku yang tersenyum dan tidak menyadari apapun saat orang-orang terdekatku sedang terluka. Aku benar-benar bodoh, bukan?"

"Seraphina.."

"Angin, apa aku masih pantas untuk menjadi teman mereka? Aku merasa bahwa aku benar-benar tidak berguna untuk keberadaan mereka."

"Seraphina, kau tidak salah. Mereka hanya ragu dan belum mempercayaimu sepenuhnya untuk bertukar cerita yang dalam seperti itu. Aku yakin, mereka juga pasti berusaha untuk melupakan semua itu dengan tidak menceritakannya. Hanya saja mereka lupa, bahwa trauma tidak akan pernah bisa dilupakan dan dihadapi sendiri. Mereka tetap akan membutuhkan bahu untuk bersandar karena itu wajar karena mereka juga manusia biasa meski sedikit spesial."

EuphoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang