My Future Duchess

301 1 0
                                    

(つ≧▽≦)つ Happy Reading (つ≧▽≦)つ

Jika suasana hati Alara sudah lebih tenang maka gantian. Sekarang, suasana hati Raphael lah yang kacau. Wajahnya kembali memerah, bahkan jantungnya pun ikut berdebar dengan kencang kembali.

Ia akhirnya mengangkat tangannya dan menggunakan tangannya untuk menutup wajah Alara yang saat ini sedang berbinar karena senang.

"Apa-apaan?!" protes Alara.

"Diam," balas Raphael.

Ini di luar dugaan Raphael. Padahal kedatangan ia kemari karena ia ingin berbicara banyak hal pada Alara tetapi setelah ia bertemu dengan gadis itu, seluruh pikirannya menjadi begitu kacau. Ini tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

Alara pun hanya bisa terdiam. Ia tidak ingin banyak protes, bisa-bisa kepalanya melayang kalau ia melakukan hal itu.

Sudah tiga menit berlalu dan akhirnya Raphael melepas tangannya dari wajah Alara. Meski wajahnya masih memerah. Alara yang menyadari hal itu membelakkan matanya terkejut, "Raphael! Kau demam?"

Gadis itu mengangkat tangannya dan mengecek suhu badan Raphael dari kening pria itu. Raphael hanya bisa diam saja karena ia sudah tidak sanggup mengeluarkan kata-kata lagi.

"Tuan, ini sudah waktunya. Anda tidak bisa meninggalkan kediaman dalam waktu yang lama," sahut Xavier yang tiba-tiba muncul dari arah belakang Alara.

Alara menolehkan kepalanya ke arah sumber suara itu lalu memalingkan wajahnya kembali ke arah Raphael, pria itu menganggukkan kepalanya.

"Dimana kotak tadi?" tanya Raphael.

"Saya sudah menitipkannya pada Uskup Agung," jawab Xavier dan Raphael kembali menganggukkan kepalanya.

"Kerja bagus," ucap Raphael pada Xavier. Raphael kemudian memalingkan wajahnya pada Alara kembali dan menepuk kepala gadis itu dengan lembut, "Jika aku ada waktu, aku pasti akan kembali mengunjungimu di sini."

Alara hanya bisa menganggukkan kepalanya saja sebagai respon. Raphael tersenyum, "Sampai jumpa lagi, My Future Duchess."

Pria itu membungkukkan tubuhnya pada Alara dan mengambil tangan kanan milik gadis itu lalu mengecupnya. Setelah melakukan itu, ia segera pergi dengan Xavier yang mengawalnya dari belakang.

Alara terdiam.

Terdiam.

Masih terdiam.

*Duar

Itu adalah ledakan jantungnya yang tidak bisa ia tahan kembali. Kupu-kupu mulai berterbangan di perutnya. Tentu Alara tidak bisa tidak mengakui bahwa Gio yang memiliki wujud asli dengan identitas sebagai Raphael De Velland memiliki wajah tampan sekelas idol yang ia sukai saat di Dunia Manusia.

'Apa perasaan seperti ini normal?' batin Alara. Gadis itu kemudian menggelengkan kepalanya, "Kalau tidak normal, aku harus menghapus perasaan ini secepatnya."

"Aku tidak pantas untuk pria seperti Raphael."

"Tidak."

"Aku bahkan tidak pantas untuk dimiliki siapapun."

"Apa yang harus kulakukan?"

Sungguh, Alara tidak menyukai ini. Ia tidak menyukai saat di mana inner child-nya kembali dan membuat dirinya kehilangan arah. Tanpa Alara sadari bahkan air matanya mulai keluar dan menetes, "Kenapa aku seperti ini?"

Saat ini, matahari sudah mulai terbenam kembali. Setelah puas menangis di halaman belakang kuil tadi, Alara menghabiskan waktunya di perpustakaan kuil. Ia membaca beberapa buku yang menceritakan sejarah Kekaisaran Erde.

EuphoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang