Pembuktian

290 0 0
                                    

(つ≧▽≦)つ Happy Reading (つ≧▽≦)つ

"Ikutilah kegiatan sosial yang biasanya diadakan oleh kuil dan buat semua orang tahu bahwa kau yang merupakan pemilik elemen air memihak kuil. Buat mereka kembali pada kuil dan percaya dengan adanya Dewa," jawab Sri Paus.

"Itu mudah bagiku tetapi kenapa kau ingin semua orang tahu bahwa aku memihakmu?" tanya Alara dengan heran.

"Karena jika semua orang tahu bahwa kau memihak kuil, pihak Kekaisaran akan berpikir panjang untuk mengasingkan atau bahkan lebih buruknya menghancurkan kuil ini. Kau adalah harapan dari kuil ini dan aku harap kau mau melakukannya," jawab Sri Paus kembali.

Untuk beberapa detik, Alara melirik ke arah Samuel dan Gabriel secara bergantian. Bukan tanpa alasan, meski Alara baru mengenal mereka, entah mengapa instingnya mengatakan bahwa kedua saudara itu tidak berbahaya baginya.

Samuel dan Gabriel yang merasa diperhatikan oleh Alara menganggukkan kepalanya untuk meyakinkan Alara.

Alara menghembuskan napasnya sejenak sebelum menjawab, "Ya, aku akan melakukannya."

Sri Paus yang mendengar hal itu begitu terkejut. Ia hanya tidak menyangka bahwa Alara akan membuat keputusannya secepat itu. Meski begitu, ia menghela napasnya lega karena ia tidak perlu begitu khawatir dengan adanya kehadiran Alara.

"Aku terharu dengan jawabanmu. Sebagai gantinya, aku ingin membuatmu menjadi saintess jika kau begitu menginginkannya," ucap Sri Paus.

"Saintess? Aku tidak tertarik. Berikan saja itu pada yang lain," jawab Alara dengan ketus.

"Ku pikir kau akan tertarik," ucap Sri Paus.

"Siapa yang tertarik untuk menjalani kehidupan sendiri hingga akhir hayatnya? Aku sama sekali tidak tertarik," balas Alara.

Sri Paus menganggukkan kepalanya mengerti dan entah kenapa kalimat yang diucapkan oleh Alara barusan mampu menembus hati Gabriel. Anehnya, hati pria itu terasa sakit tanpa ia ketahui apa sebabnya.

Sesi sarapan akhirnya telah selesai dan Alara melangkahkan kakinya untuk pergi keluar terlebih dahulu. Gadis itu hanya ingin menghirup udara segar yang terdapat di halaman belakang kuil.

Setelah sampai di sana, Alara mendudukkan dirinya pada sebuah kursi yang terletak di halaman belakang itu. Ini adalah cuaca yang Alara sukai, tidak begitu terik tetapi tidak terlalu mendung. Cuaca yang pas untuk memikirkan masa depan yang belum ia ketahui. Meski begitu, Alara tidak tahu apa yang harus ia pikirkan.

"Ku pikir, kau akan kembali ke kamarmu rupanya aku salah," sahut Gabriel yang baru saja datang dan tiba-tiba duduk di samping Alara.

"Apa di perpustakaan ada sebuah buku yang ringan dan tidak terlalu berat?" tanya Alara.

"Untuk apa?" tanya Gabriel balik.

"Tentu saja untuk kubaca memang apalagi?!" jawab Alara dengan kesal.

Gabriel hanya menganggukkan kepalanya mengerti. Ia lalu menatap Alara dengan sorot serius, "Memang kau ingin membaca buku cerita seperti apa?"

"Pokoknya yang ringan! Yang tidak terlalu berat karena beban hidupku saat ini saja sudah berat. Jadi aku ingin baca buku yang ringan."

"Aku punya buku rekomendasi. Tunggu di sini."

Setelah mengucapkan hal itu, Gabriel pergi dan kembali dengan membawa sebuah buku tebal di satu tangannya. Ia menyerahkan buku itu pada Alara, "Kau bisa membacanya."

Alara menerima buku itu seraya tersenyum senang, "Terima kasih, Gabriel."

Meski samar, Gabriel juga tersenyum saat melihat Alara memperhatikan buku rekomendasinya dengan wajahnya yang berseri-seri. Pria itu kembali duduk di samping Alara seraya memperhatikan reaksi selanjutnya dari gadis itu.

EuphoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang