tujuh puluh empat

175 7 0
                                    

Tubuh yang sudah tidak kuat untuk berdiri tegak itu berjalan sempoyongan dengan diikuti kedua temanya yang masing-masing menjaga di sebelah kanan dan kirinya. Bahkan dalam keadaan seperti ini saja, otaknya masih mempengaruhi pikirannya tentang kejadian yang sudah terjadi.

Beberapa kali memukul kepala nya sendiri, dengan maksud tidak membuatnya pusing. "Argggghhh!"

"Suruh dia narik lagi kata-katanya, kalian bisa kan?" celotehnya sambil menatap kedua temannya secara bergantian.

"Dah mabuk gini, masih aja bahas cewek itu, hadeh." ceplos Riski.

"Sshhttt" tangannya menutup mulut Riski. "Apa lo? Dia cewek gue, awas aja ngasal ngomong, gue incer lo." tambahannya.

Aril meraih tangan itu dari mulut Riski. "Udah Val, udah. Sekarang pulang."

"Serah..serah. Gue mau tidur."

Tok...tok

"Nad, buka pintunya."

Tok...tok

"Nadia"

Sungguh sejak pulang sekolah hingga sekarang, adik perempuan nya itu langsung masuk kamar, tanpa keluar, dan tanpa bergabung ikut makan  sore dan makan malam. Hendak akan mengetuk lagi, pintu itu kini terbuka pelan, hanya celah sedikit yang dibuka Nadia, tentunya perempuan itu menahan agar tak terbuka lebar.

"Apa?" tanya Nadia dengan malas.

"Keluar dari kamar, makan dulu."

Perlahan Nadia membuka pintu itu sedikit lebih lebar, hingga muat untuk badannya terlihat didepan kakaknya itu.

Wajah lesu, mata sembab, hidung memerah, itulah Nadia yang dilihat Aldo sekarang.

"Nadia enggak lapar, kak Aldo enggak perlu ngetok pintu kamar lagi, Nadia mau tidur." ucapnya.

Menatap sosok kakaknya itu membuat dirinya seakan ingin menangis lagi, teringat kata-kata sebelumnya yang pernah kakaknya ucapkan. Sebisa mungkin Nadia menatap wajah kakaknya tanpa ragu, tapi itu sulit untuknya saat ini.

Hendak menutup pintu rapat-rapat, Aldo berhasil menahan pintu tersebut. "Makan dulu Nad."

"Enggak!"

Kini kedua nya saling mempertahankan keyakinan masing-masing. Nadia menahan pintu agar tak terbuka sekuat mungkin, dan Aldo mendorong pintu sekuat mungkin agar terbuka.

"Kak Aldo enggak perlu mikirin Nadia, pergi sana." usir Nadia.

"Keluar dulu, jangan diem dikamar terus. Lagian ngapain nangis terus dikamar." ucap Aldo.

Semua percobaan, pemenangnya adalah Aldo. Pintu kamar itu kini terbuka lebar. Dengan jelas Aldo dapat melihat sosok adiknya yang kini sudah meneteskan air mata yang berlinang dan isi dalam kamar itu yang dapat tertangkap di penglihatan nya banyak tisu tergeletak banyak didekat kasur.

"Seharian kamu kayak gini?" tanya nya.

Aldo berjalan mendekat, tangannya mengusap air mata itu segera. Dibawa Nadia kedalam pelukannya. Hal itu semakin membuat tangis Nadia makin pecah.

"Maafin kakak ya. Kakak cuman enggak ingin kamu ngerasa jauh lebih sakit hati nantinya kalau sama Noval, lebih baik dicegah." ucap Aldo dengan tenang.

"Bukan salah kak Aldo, salah Nadia semua nya." jawabnya dengan sesenggukan.

Ia melepaskan diri dari pelukan itu, menjauhkan tubuh kakaknya. "Salah Nadia." ucapnya sambil tersenyum renyah dihadapan kakaknya itu.

"Sedihnya udahan ya, makan dulu, sejak pulang sekolah kamu belum makan." ucap Aldo.

"Aku gapapa, kak Aldo pergi dari kamar aku." pintanya dengan serius.

Lambaian tangan itu diacuhkan oleh Nadia, ia memilih pura-pura tidak melihat hal tersebut, dan melanjutkan obrolan dengan Keysia.

"Please, jangan kesini..jangan kesini." pintanya dalam hati.

Namun, semakin ia fokus pada pembicaraan teman nya, semakin ia juga terfokus pada langkah kaki seseorang yang sepertinya akan mendekati kearah mereka.

"Em maaf ya Key nyela obrolan, tapi kayaknya gue harus ke toilet." senyum kikuk ia tunjukkan.

"Oh, ya gapapa Nad, mau gue anter sekalian?" usulnya.

"Gak usah, gue bisa kesana sendiri. Duluan Key." Pamitnya.

Langkah panjang sekaligus berlari kecil ia lakukan agar segera menjauh dari area lorong kelasnya. Perasaannya kacau saat ini, ia tidak ingin menemui siapapun yang bisa menyudutkan dirinya sepihak, atau yang bisa membuat dirinya merasa disudutkan.

"Stop."

Tubuhnya terhenyak mendengar suara itu tepat berada di belakangnya, serta sebuah sentuhan pada pundaknya. Pandangannya menoleh kebelakang, mendapati orang yang ia hindari. Seketika tubuhnya lemas, juga kehilangan keseimbangan. Namun, hal itu tidak terjadi, diwaktu yang tepat Noval menahan tubuh Nadia yang hampir ambruk.

"Hampir aja" gumam Noval.

"Makasih kak" ucap Nadia tanpa menatap mata Noval.

"Lain kali lebih hati-hati, gak perlu lari." Ucap Noval.

"Iya"

Sebuah tepukan di bahu perempuan itu, membuat matanya menatap orang yang berada dihadapannya sekarang. Segera mungkin Nadia mengalihkan pandangan kearah lain lagi.

"Em gini, gue udah tau alasan lo minta putus, seenggaknya gue tau kebenaran itu dari kakak lo." senyum paksaan itu muncul.

My Brother Twins - [ E N D ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang