Dicky sedari tadi hanya diam, tidak bisa bicara apa apa, bahkan tubuhnya keringat dingin melihat aksi Gilang yang benar benar nekat.
"Cabut." Teriak Gilang, berlari menuju motornya dan meninggalkan tempat itu. Mark mendengar teriakan temannya dan langsung meninggalkan Arjuna yang sudah terkapar tak berdaya di aspal.
Sedangkan kondisi pria tua itu tidak jauh beda dengan anaknya, Arjuna. Sama sama terkapar di aspal, namun dengan kepala yang berceceran darah segar, pandangannya sudah kabur sampai akhirnya ia menutup kedua matanya, tak sadarkan diri.
Arjuna susah payah bangkit dari ketidakberdayaannya, sambil memegangi perutnya sakit yang terus terusan di tendang dan di pukul oleh Mark, anak itu menghampiri sang ayah yang di tinggalkannya bersama dengan Gilang. Bodoh. Satu kata itu sangat cocok Arjuna dapatkan saat ini. Dirinya sangat bodoh, bisa bisanya dia meninggalkan ayahnya bersama dengan Gilang.
"Ayah," Panggil Arjuna, "AYAH."
"Ayah, bangun Ayah." Arjuna berusaha menggoyangkan tubuh ayahnya, namun tak ada hasil.
"Bajingan, GILAAANGGG." Teriak Arjuna frustasi. Tidak tinggal diam, Arjuna langsung menghubungi nomor rumah sakit agar ada ambulan yang datang menjemput ayahnya. Tangannya melemah setelah selesai berbicara dengan pihak rumah sakit, kornea matanya menatap pilu keadaan ayahnya yang tidak juga mau membuka mata.
"Ayah." Lirih Arjuna dengan bibir bergetar. Perlahan cairan bening yang sedari tadi sudah menumpu di ujung mata tumpah juga, seakan tidak ada yang bisa menahannya lagi.
"Ayah," Bukan hanya air mata saja yang mengisi sunyi di malam itu, tetapi isakan tangis dari seorang Arjuna terdengar. Pundaknya berguncang, wajahnya ia sembunyikan di bagian perut ayahnya, "Ayah, bangun."
Tidak lama kemudian suara nyaring sirine mobil ambulan terdengar, membuat Arjuna mendongakkan kepala mengarah ke sumber suara. Benar saja, beberapa petugas dari rumah sakit berkeluaran dari dalam ambulan menghampiri Arjuna dan ayahnya yang tergeletak begitu saja.
"Luka tembakan." Ujar salah seorang petugas saat melihat kondisi ayah Arjuna. Secepat mungkin petugas itu mengangkat tubuh pria itu dan di bawa ke dalam mobil. Arjuna diam dalam tangisannya, ia memperhatikan petugas yang segera menangani ayahnya.
"Dek," Panggilan itu membuyarkan lamunan Arjuna, dia menoleh seakan berbicara 'ada apa?' "Luka mu perlu di obatin." Arjuna menggeleng pelan.
"Dek, muka mu babak belur."
Arjuna masih menggeleng pelan, matanya menyorot ke arah ambulan berisi ayahnya yang mulai menjauh dari pekarangan gedung.
Petugas yang tersisa itu jongkok, "Apa yang terjadi?" Tanyanya, seraya merangkul pundak Arjuna, mungkin berupaya untuk menenangkan. Agaknya percuma jika bertanya dengan kondisi Arjuna yang seperti ini, karena anak itu masih saja memberi respon dengan gelengan kepala.
"Dek, ayo ikut ke rumah sakit. Temani Ayah kamu, luka yang di alami Ayah kamu cukup parah."
Isakan tangis yang tadi sempat berhenti kini terdengar kembali, pipinya yang mulai mengering kini basah kembali karena air mata yang menetes begitu deras. Tidak ada kata lain yang di ucapan oleh Arjuna selain memanggil ayahnya.
"Dek, ini sudah jam setengah 2 malam. Ayo saya antar ke rumah sakit, obati luka luka kamu di wajah." Akhirnya petugas itu mengangkat bahu Arjuna dan menggandeng Arjuna agar menuju ke mobil yang tersisa. Arjuna nurut saja. Dirinya sudah terlalu shock melihat kondisi ayahnya saat ini, namun tidak ada kemarahan yang mendominasi diri Arjuna, ia sama sekali tidak merasakan emosi yang biasanya ia rasakan saat berurusan dengan Gilang, orang yang sudah menembak ayahnya di bagian kepala. Arjuna sadar akan tingkah Gilang, mungkin jika Arjuna ada di posisi Gilang, ia akan melakukan hal yang sama dengan anak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGLOMERSI
Teen FictionGilang Argantaro menuntut orang yang sudah menabraknya di jalan dan ia akan membawa masalah ini ke jalan hukum. Saat sahabat pelaku memohon pada Gilang untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, Gilang menyetujuinya tetapi dengan satu sya...