Awal sebuah perjuangan • 06
Berada di desa selama lebih dari dua tahun sudah cukup membuat Arum betah dan lumayan akrab dengan penduduk desa lainnya. Kuliah sambil kerja membuat Arum mempunyai kesibukan yang tiada henti, pagi sampai siang ia harus menetap di kota sedangkan sore sampai malam ia larut bekerja, waktu istirahat kadang terpakai demi untuk menuntaskan tugas menumpuknya, hari libur juga tidak pernah Arum rasakan karena harus bekerja di kedai kopi desa.
Berhati sabar, Arum tidak mengeluh ketika harus mengerjakan semua itu. Mungkin ini sudah jalannya, harus berjuang demi bisa bebas dari hidup yang masih belum bisa di terimanya.
Beberapa bulan lagi Arum akan lulus kuliah, tak menyangka ternyata dirinya bisa sampai di titik paling tinggi ini. Mengumpulkan uang demi untuk bayar kuliah bukan hal mudah, ia harus benar benar hemat dalam mengelola uang yang ia dapat dari hasil kerja di kedai. Kadang kadang jika ada waktu luang oleh Arum gunakan untuk membantu mbok bekerja di sawah, itung itung sambil menghibur diri dan merefresh pikiran.
Di tengah tengah rumah tua namun kokoh beberapa orang termasuk Arum berkumpul, meja persegi di tengah tengah mereka di isi oleh hidangan hidangan biasa seperti singkong atau ubi rebus dan teh hangat yang mbok bikin langsung dari daun teh di kebun teh. Tokoh utama yang menjadi pembicaraan para wanita dan pria paruh baya kali ini adalah Arum. Gelisah yang dari tadi menyeruap dalam hati Arum, namun anak itu berusaha setenang mungkin agar tidak mengecewakan siapapun yang ada dalam rumah tua itu. Pikirannya kalut, namun ia tetap harus berusaha berpikir sekeras mungkin untuk mengambil keputusan nantinya. Tentu ini adalah keputusan yang tidak akan mudah di lewati jika sudah di pilih.
"Jadi bagaimana nak?" Suara itu memaksa Arum keluar dari pikirannya. Pria paruh baya dengan hiasan totopong di kepalanya bertanya dengan begitu sopan dan lembut, tidak terkesan memaksa namun begitu mengharapkan jawaban 'iya' dari Arum.
Arum begumam cukup panjang, membuat rasa penasaran dari empat orang lainnya, "Maaf Bah, kayanya Arum pikirin lagi dulu," Jawaban itu agak mengundang mimik kecewa dari cowok yang dari tadi sudah duduk tegang di ujung kursi, "Ini keputusan yang bikin Arum pusing, karena Arum cuma hidup sendiri di sini, ga ada keluarga, ga ada kerabat dekat, Arum cuma punya Mbok, Arum juga ga mau kalo terlalu bikin Mbok repot."
Arum melihat persona mbok yang menggeleng pelan, seakan mengatakan bahwa ia tidak sama sekali kerepotan mengurus Arum. Padahal selama dua tahun ini Arum selalu hidup dengan jasa mbok yang tak bisa di balas dengan apapun, makan, tidur, semua mbok yang urus.
"Jadi kapan kamu mau kasih jawaban ke kami, nak?" Istri dari pria yang bertanya tadi menyahut, ikut bertanya pada Arum.
"Maaf Mbu, Arum belum tau pasti kapannya tapi Arum usahain secepatnya."
"Sayang..."
Mbok memanggil, namun oleh Arum potong cepat, "Mbok, tolong pahami keadaan Arum sekarang. Arum belum punya apa apa untuk memulai semuanya."
"Ga perlu khawatir nak, anak kami yang akan tanggungjawab sama kehidupan kamu." Si wanita paruh baya itu menimpali.
"Iya sayang, bener. Setelah ini kamu bisa hidup seperti mau kamu." Mbok ikut menimpali, mendukung Arum untuk menjawab 'iya'.
"Kalo kamu ga betah tinggal di desa, kamu bisa ke kota sama anak saya. Biar kalian tempati kembali rumah kamu yang sudah lama di tinggal." Pria paruh baya itu juga ikut menimpali. Urusan dia tau mengenai rumah Arum di kota pasti mbok yang memberi tau nya, Arum tak heran lagi.
Arum masih diam tak bergeming, memikirkan perkataan perkataan para tetua ini sebaik baiknya.
Karena hening, mbok menghampiri lebih dekat tubuh Arum, berbisik pelan agar ketiga lainnya tidak tau, "Ini pasti pilihan terbaik untuk hidup kamu, apa yang kamu tunggu lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AGLOMERSI
Teen FictionGilang Argantaro menuntut orang yang sudah menabraknya di jalan dan ia akan membawa masalah ini ke jalan hukum. Saat sahabat pelaku memohon pada Gilang untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, Gilang menyetujuinya tetapi dengan satu sya...