Sudah lama rasanya Gilang dan sahabat sahabatnya tidak mengunjungi warung bu Ida. Sejak masuk SMA mereka menjadi lebih sibuk dari biasanya, lebih banyak mengikuti ektrakurikuler, mengerjakan tugas kelompok, jikapun ada waktu akan mereka gunakan untuk main bersama sama.
Siang ini matahari tidak terlalu menunjukkan keberadaannya, cuacanya teduh, mendung namun cerah juga, di tambah semilir angin yang melengkapi suasana menjadi lebih nyaman berada di warung sederhana. Tak lupa, indomie spesial khas warung bu Ida dan es teh maupun kopi yang melengkapi. Namun sayangnya, kursi panjang yang biasa di tempati oleh empat orang, kini hanya di tempati oleh dua orang saja. Gilang dan Mark. Dicky tidak bisa ikut karena jadwal ekskul voli yang ia ikuti di sekolah, sedangkan Marco? Jangan di tanya, anak itu sudah hilang sejak perkara penculikan Arum. Komunikasi antara mereka pun sudah tidak pernah terjalin, bahkan mungkin mereka sama sama menghapus nomor telepon dan saling unfollow instagram atau media sosial lainnya.
"Bukan perasaan kalian yang jadi masalah, tapi gimana hubungan kalian ke depannya. Kalian bukan lagi bocah bau kencur yang ada di masa masa cinta monyet. Gua tau, perasaan kalian sama sama serius." Mark mengutarakan pendapatnya setelah menslurup mie soto favoritnya.
Respon Gilang mengangguk mantap, "Makanya gua bilang, cinta ga mandang apa apa mau beda agama atau sesama jenis yang namanya cinta tetap cinta."
Uhukk
"Khm khm," Berusaha menormalkan rasa di tenggorokannya yang tadi sempat tersedak kuah mie, "Maksudnya lu dukung cinta sesama jenis? Anjir sejak kapan? Gila lu." Tegur Mark, kaget mendengar apa yang Gilang utarakan tadi. Setelahnya es teh milik Gilang yang masih tersisa ia sedot begitu saja.
"Ya ngga juga jancuk! Gua bilang kaya gitu karena gua ngambil dari sudut pandang lain juga. Ibaratnya, cinta beda agama sama cinta sesama jenis itu hampir mirip, ada tembok besar yang ngehalangin."
"Tapi lu ga boleh sampe dukung juga lah ajing!" Bentak Mark.
"Ya ngga lah bangsat. Gua juga tau cinta sesama jenis di larang di agama, negara juga ngelarang."
Mark manggut manggut, "Bagus deh. Terus lu mau gimana sama hubungan lu ke depannya?" Tanya Mark setelah selesai menghabiskan satu mangkok kuah mie.
Gilang diam sejenak, otaknya berpikir keras bagaimana ia bisa melanjutkan hubungannya dengan Arum. Tembok dalam hubungan mereka cukup tinggi dan kuat, tidak mudah untuk di runtuhkan begitu saja. Tetapi rasa cinta kepada sang pujaan hati yang setiap hari kian menambah juga membuat Gilang semakin tidak mau memutuskan hubungan dengan sang kekasih.
"Bengong kan lu, di tanya kaya begitu." Kekehan kecil oleh Mark berikan di akhir kalimatnya.
Gilang menghembuskan napas berat, "Menurut lu, gua harus gimana?" Tanya Gilang akhirnya. Sepertinya Gilang tidak bisa jika mengambil keputusan sendiri, pendapat sahabat dekatnya harus ikut andil dalam keputusan Gilang nantinya.
"Pilihan cuma ada dua," Jawab Mark, menggantungkan ucapannya sebentar, lalu melanjutkan ketika tatapan Gilang sudah tidak sabar mendengar kalimat berikutnya, "Tinggalin Arum, atau tinggalin Tuhan lu."
Jleb.
Kalimat itu, sangat sulit Gilang terima. Bahkan secara tiba tiba hatinya merasa di beratkan oleh sesuatu, hatinya menjadi tidak tenang, bimbang dan tak tau harus bagaimana. Gilang sendiri pernah bilang, 'cinta kepada manusia dan cinta kepada Tuhan tuh takarannya jauh beda. Kalo di tanya pasti kita lebih mencintai Tuhan kita, tapi kita juga ga bisa hidup tanpa mencintai manusia'. Kata kata itu serasa menusuk ulu hatinya sendiri, Gilang merasa sedang terjebak dalam ucapannya waktu itu.
"Bengong lagi," Sela Mark, membuat Gilang tersadar dari lamunan atas pikirannya yang memusingkan, "Denger pendapat dia juga, lu tanya mau nya dia gimana." Saran Mark.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGLOMERSI
Teen FictionGilang Argantaro menuntut orang yang sudah menabraknya di jalan dan ia akan membawa masalah ini ke jalan hukum. Saat sahabat pelaku memohon pada Gilang untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, Gilang menyetujuinya tetapi dengan satu sya...