"M...mark?"
Yang mempunyai nama menoleh, kemudian mengangkat sebelah alisnya. Tidak hanya Mark yang kebingungan tetapi Gilang, Dicky, juga Bryan. Ketika baru saja datang tiba tiba Arum memanggil nama Mark dengan mimik wajah bingung juga.
"Kenapa, Rum?" Tanya Mark saat mendapati Arum hanya diam.
Seakan tersadar dari lamunannya, Arum mengerjapkan mata seraya menggelengkan kepala, "Oh, hm, ngga papa."
Tak ada respon lagi dari Mark. Cowok itu kembali bermain dengan kucing putih yang sepertinya sudah pasrah dan bosan berada di tangan Mark. Terlihat dari muka si kucing.
"Ayah ganti baju dulu ya." Pamit Bryan lalu melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Sedangkan Arum ikut duduk bersama Gilang dan teman temannya.
"Sayang," Panggil Gilang saat melihat Arum masih di mimik wajah bingung, "Kamu mau sholat? Ini udah masuk waktu sholat kan?" Tanya Gilang saat melihat jam dinding menunjukkan pukul 18.00
"Eh, iya Lang."
"Rum, bareng sama gua aja." Itu Dicky yang berujar. Mengingat di rumah ini yang beragama Islam hanya Arum dan Dicky. Arum mengangguk sebagai jawaban, kemudian ia menuju ke arah kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Dicky berdecak, "Mampu ga bro lu imamin dia?" Ucapannya di tujukan kepada si cowok yang sedang menulis pekerjaan sekolahnya. Setelah menyindir sedikit, Dicky segera menyusul Arum untuk mengambil air wudhu.
Masalah mukena, sajadah, dan sarung? Tenang saja. Bryan sudah menyiapkan semua itu, bahkan Bryan menyiapkan tempat khusus untuk ibadah bagi yang beragama Islam. Karena tau Dicky suka berkunjung ke sini, akhirnya Bryan berinisiatif untuk menyiapkan semua itu, di tambah Arum yang sudah sering berkunjung juga.
Awalnya Gilang diam, berpura pura tidak mendengar cibiran Dicky barusan, namun lama kelamaan Gilang malah di hantui oleh cibiran anak itu. Pikirannya tidak lagi fokus pada lembaran soal fisika, walaupun tangan dan matanya masih fokus pada soal soal itu. Perlahan pikiran tentang bagaimana hubungannya dengan Arum ke depannya mulai bermunculan lagi, setelah di bahas oleh Mark sore tadi, di warung bu Ida. Saran dan pendapat Mark cukup membuat kepalanya pening dan sekarang Dicky malah mencibir Gilang seperti tadi. Gilang pusing, Gilang bingung. Bahkan arti imam saja ia tidak begitu paham.
"Lang, woi."
Suara Mark berhasil memudarkan lamunan Gilang, "Apaan sih?" Tanya Gilang. Tentu saja spontan dengan nada ketus.
"Makanan Iprit abis?" Tadi Mark hendak memberi kucing putih itu makan tetapi setelah melihat stok makanannya, ternyata habis.
Tatapan mata Gilang berubah menjadi sinis. Sangat lelah rasanya mendengar Mark memanggil kucingnya dengan sebutan Iprit, padahal nama yang Gilang berikan adalah Zee, bukan Iprit.
"Abis." Jawab Gilang singkat.
"Iprit sayang, aku beli makanan kamu dulu ya? Hm. Laper iya? Tunggu sebentar, oke?" Gilang tidak lagi peduli dengan Mark.
Pikirannya mulai kembali pada cibiran Dicky. Namun karena penasaran juga Gilang mencoba menghampiri kasihnya dan sahabatnya yang sedang sholat di musholla kecil rumah itu. Posisi Dicky berada di depan, dan Arum di belakang. Gilang mulai berpikir, apakah itu yang di sebut sebagai imam? Telinga Gilang mendengar Dicky membacakan sesuatu yang sama sekali tidak Gilang pahami apa artinya, mungkin itu bacaan doa?
"Aamiin."
Suara itu terdengar oleh indra pendengaran Gilang, "Amin kita sama, cuma iman kita aja yang beda." Gumam Gilang, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya memperhatikan kasih dan sahabatnya sholat.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGLOMERSI
Teen FictionGilang Argantaro menuntut orang yang sudah menabraknya di jalan dan ia akan membawa masalah ini ke jalan hukum. Saat sahabat pelaku memohon pada Gilang untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, Gilang menyetujuinya tetapi dengan satu sya...