Cuaca sore ini tidak terlalu cerah, tidak juga mendung. Cuacanya teduh dengan di tambah angin sepoi sepoi yang menerpa setiap wajah, memberikan rasa sejuk dan nyaman. Apalagi di temani oleh roti bakar khas warung bu Ida, dan es teh manis yang di buat spesial untuk tamu tamunya yang tak kalah spesial.
"Jadi, mau lanjut kemana?" Tanya Dicky setelah menyecap roti bakar selai cokelat milik Mark.
"Gua udah pilih kampus Andalas, jurusan yang di pilih kayanya kedokteran." Mark menjawab. Keyakinan untuk masuk di bidang kedokteran sangat tinggi. Selain dari kecil cita citanya adalah menjadi dokter, nilai yang Mark dapatkan juga cukup bagus untuk masuk jurusan kedokteran. Namun kini mata Mark menyinis saat mendapat keraguan dari sahabat sasimo nya ini. Katanya.
"Yakin bisa masuk kedokteran?"
Plakkk
Geplakan dari arah Gilang terulur ke kepala Dicky, membuat sang empunya mengaduh kesakitan, "Emang lu mau ambil jurusan apa?"
"Hm," Tangan Dicky menopang dagu nya dengan tatapan mata ke arah atas, sedang berpikir, "Gua udah diskusiin sama Ayah sama Bunda, mereka setuju gua masuk jurusan teknik."
Gilang manggut manggut pelan. Es teh punya Dicky jadi sasaran untuk melegakan tenggorokannya yang kering, "Gua masih minta saran Ayah. Dia pengen gua ngembangin perusahaan yang di luar kota, soalnya udah hampir bangkrut karena ga di urus urus sama Ayah."
"Sekarang Ayah sibuk ngurus sekolah sih, terus sama kafe juga udah melesat sukses tuh." Timpal Dicky mendapat anggukan dari Gilang.
"Lu mau ambil jurusan apa, Rum?" Mark bertanya.
"Hm, pengennya sih kedokteran juga, tapi kayanya nilai gua ga sebagus nilai lu," Jawab Arum, kemudian melanjutkan, "Gua juga harus bilang dulu sama Mamah sama Papah."
"Harus yakin lah," Mark membalas, "Lu aja bisa masuk SMA NB."
Arum terkekeh sambil tersenyum, "Gua masuk SMA NB juga karena bantuan sahabat gua, Mark. Lagian kalopun gua ga bisa masuk kedokteran, paling gua ambil sastra indonesia."
"Btw, ngomong ngomong soal Mamah sama Papah lu, kita ga pernah ketemu?" Dicky berujar, mendapat anggukan semangat dari Mark, "Kayanya Mamah lu cantik ya, Rum. Sama kaya anaknya."
Plakkk
"Jancuk, Gilang."
Mark tertawa saat mendapatkan kepala Dicky di pukul menggunakan gelas kaca yang isinya sudah kosong. Untung saja gelas itu tidak pecah, bisa gawat kalo bu Ida marah marah karena ulah Gilang yang seenaknya.
"Mamah Arum ga bakal sudi ketemu anak kaya lu!" Ketus Gilang.
"Hah? Kenapa? Tampan menawan gini kok."
"Ck! Kelakuan lu Ky yang bikin orang ogah ogahan kenal sama lu." Sambung Mark.
Tidak ada yang paham 100% dengan yang Arum rasakan saat ini. Mungkin teman temannya bisa tertawa atau biasa saja saat membahas soal mamah atau papah Arum, tapi bagi Arum, ini sangat menyakitkan, membuat Arum sesak.
Dicky yang selaku teman Arum ingin bertemu dengan seseorang yang sama sekali jarang Arum temui. Bagaimana Dicky bisa bertemu dengan mamahnya jika anak dari orang yang menjadi topik pembicaraan saja tidak pernah bertemu dengan dirinya? Ya Tuhan, ingin rasanya Arum pulang saat ini juga. Arum sangat tidak nyaman dengan pembicaraan mereka kali ini, membuat mata Arum berkaca.
"Gimana, Mark? Berhasil mepet cewek yang waktu itu ada di bioskop?" Walaupun cuek, tapi sebenarnya Gilang mengerti bagaimana perasaan Arum saat ini. Ia berusaha mengalihkan topik pembicaraan demi kenyamanan Arum ada di dekatnya dan sahabat sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGLOMERSI
Teen FictionGilang Argantaro menuntut orang yang sudah menabraknya di jalan dan ia akan membawa masalah ini ke jalan hukum. Saat sahabat pelaku memohon pada Gilang untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, Gilang menyetujuinya tetapi dengan satu sya...