Dua minggu setelah pernikahan terlaksana dengan lancar tanpa hambatan, Gilang dan Arum kembali fokus kuliah sampai mereka lulus dan sama sama memiliki gelar sarjana. Mereka memilih menempati rumah milik kedua orang tua Arum, tapi lebih tepatnya Arum yang meminta karena itu peninggalan satu satunya dari mendiang mamah dan papah, setidaknya walaupun tidak ada sama sekali kenangan yang membawa Arum mengingat kedua orang tuanya tetapi dengan tinggal di rumah kedua orang tuanya sudah cukup membawa otak Arum untuk mengenang mamah dan papah. Mau bagaimanapun mereka tidak pernah bertemu dengan Arum tetapi Arum tetap akan berbakti kepada mereka, toh mereka yang membuat Arum bisa melihat dunia fana yang indah ini kan? Arum juga dewasa berkat jasa dari mereka, jika mbok tidak di beri uang untuk membesarkan Arum mana mungkin Arum bisa hidup sampai detik ini?
Pada dasarnya kita harus tetap berbakti kepada kedua orang tua bagaimanapun keadaannya.
"Ayo bangun, aku udah masak." Lengan Arum menggoyangkan tubuh jangkung Gilang yang masih tertidur pulas di tempat tidur. Sudah di tinggal masak dan beres beres rumah tapi masih tetap tidur, dan itu semua karena Gilang sendiri yang bermain game dengan Dicky dan Rafa sampai larut malam. Giliran Arum mau maraton drama korea malah di suruh tidur. Apakah ini yang di sebut suami tidak adil?
"Um."
Menyebalkan! Cowok itu hanya melenguh dan dengan sekejap memeluk pinggang ramping Arum yang sedang duduk di tepi ranjang.
"Ayo Lang, Ayah udah nunggu di bawah." Omel Arum, berusaha menyingkirkan lengan besar Gilang dari pinggangnya dan berdiri sambil menatap persona sang suami yang masih tertidur lelap.
Menunggu beberapa saat, akhirnya kelopak mata itu mulai terbuka perlahan. Berkedip kedip untuk menormalkan indra penglihatan dan mengucek pelan matanya lalu duduk menatap persona sang istri yang masih lengkap menggunakan piyama nya tadi malam.
"Aku cape kerja sayang." Keluh Gilang, dan lagi lagi memeluk perut Arum yang sedang berdiri.
Bola mata hazel milik Arum sukses memutar saat mendengar keluhan sang suami, "Terus kenapa aku denger suara dor dor dor?!" Protes Arum sebal. Iya lah sebal, orang semalam telinga Arum sangat jelas mendengar suara tembakan game dari handphone Gilang, dan cowok itu malah mengeluh capek kerja.
Omong omong soal kerja, Gilang bekerja di perusahaan Bryan yang sempat tak terurus. Perusahaannya memang lebih banyak ada di luar kota, tetapi kantor cabang tetap ada di Jakarta, jadi Gilang tidak perlu capek capek bolak balik untuk bekerja. Kalo untuk Arum, anak itu mau melanjutkan mengurus kafe. Kafe itu adalah kafe milik bunda Gilang yang di ambil alih oleh Bryan setelah kepulangan bunda. Bryan sendiri masih sempat sempat nya mengurus sekolah. Entah apa yang membuat pria tua itu mau mengurus tentang sekolahan. Tapi selama tubuhnya masih kuat, Gilang ataupun Arum tidak akan melarangnya, mungkin pria itu juga bosan jika terus menerus ada di rumah.
"Cuma satu kali," Jawab Gilang, mendapat respon kerutan kening dari sang istri, "Abistu aku kerja sampe jam tiga pagi, terus di bangunin jam lima, terus bobo lagi deh."
Arum mengalah, ia tidak akan marah marah lagi kepada Gilang kalo memang itu alasannya, dan mungkin Gilang juga main game untuk mengusir penat di keningnya. Itu hal yang sangat wajar bukan?
"SAYANG KAPAN MAKANNYA? AYAH UDAH LAPER."
Arum tersenyum lebar, sampai sampai mata indahnya membentuk seperti garis, "Gara gara kamu Ayah jadi nunggu lama!" Setelah membentak Gilang dengan nada main main, Arum langsung berjalan keluar pintu kamar.
"Sayang." Panggil Gilang, buru buru bangkit dari tempat tidur dan menyusul langkah sang istri.
"Sayang." Panggilnya lagi, saat ini Arum sudah menuruni tangga tapi sama sekali tidak mau menoleh ke belakang untuk sekedar menatap wajah tampan Gilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGLOMERSI
Teen FictionGilang Argantaro menuntut orang yang sudah menabraknya di jalan dan ia akan membawa masalah ini ke jalan hukum. Saat sahabat pelaku memohon pada Gilang untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, Gilang menyetujuinya tetapi dengan satu sya...