"Banyak yang bilang mengerti tapi pada kenyataannya tidak peduli"
_Reyhan Arsenio Ghazanvar_
Happy Reading
***
Begitu air mulai tenang, gemuruh ombak tak lagi terdengar dalam hanyut tamaram menatap awan pekat, kulit gemang pucat, dingin baju basah masih melekat tidak ada selera sekedar menghangatkan raga.
Sakit pun mungkin tidak ada yang peduli, rasanya sulit di mengerti letak permasalahannya dimulai.
Yang dia ingat, yang dia tahu, keluarganya memang seperti itu sejak dulu, tidak ingin ada secuil noda mengotori harkat dan martabat, popularitas serta pujian. Masyarakat harus memandang keluarganya dengan hormat.
Di balik itu ada yang harus terluka dan tersiksa dalam tekanan, darah yang mengalir seakan tidak lagi bermakna.
Remaja itu berdiri di atas balkon dengan pandangan pedihnya, denyutan dada semakin merusak jiwa yang perlahan mati dengan kabar duka lewat tangis lara.
Reyhan selalu berusaha menjadi yang terbaik di mata keluarga, berusaha di pandang ada seperti kakaknya tetapi, terbalaskan akan pukulan duka lara.
Caci maki di terima setiap hari, amukan serta hukuman adalah bonus kesalahan.
Waktu mempertemukan dengan seseorang yang menerima kehadirannya, sedikit mewarnai kepingan abu dalam hari-harinya tapi lagaknya dunia tak menghendaki sehingga senyum itu harus ia pudarkan.
Di saat ia menemukan sandaran lain, justru mereka merampasnya.
"Kenapa harus begini" monolog Reyhan di tengah terpaan angin malam.
"Tidak bisakah pelukan hangat yang dihadirkan bukan rasa sakit berlebihan" Reyhan sebenarnya lelah dengan sikap keluarganya sendiri.
Dulu ia pernah tak sengaja mendengar nenek berbicara, katanya seharusnya hanya Alfian yang ada, Reyhan tidak sepantasnya hadir sebagai anak laki-laki juga.
Entah hanya itu alasannya atau mungkin ada yang lainnya, Reyhan tidak tahu. Ah, lebih tepatnya tidak ingin mencari tahu, takutnya ia tidak lagi sanggup dengan kata fakta.
"Reyhan tidak bisa kalau seperti ini, bagaimana caranya mengahadapi luka setiap hari dari berbagai aspek" ungkap Reyhan gundah.
Ia harus berusaha terlihat nyata di hadapan keluarga, membuktikan diri sama di pandangan rekan sebaya dan di lain sisi ia harus sanggup melihat seseorang yang dicintai bergandeng tangan dengan Alfian, kakaknya sendiri.
Kurang lengkap di bagian mana lagi jurang luka yang harus di lalui, keluarga tidak menganggap, teman tidak punya, bahkan kekasih pun harus beranjak pergi.
Brak
"Sikap kamu sangat keterlaluan hari ini!" bentak papa menendang pintu balkon.
Membalikkan badan memandang ayahnya sayu, bukan hanya itu ia juga menatap sang ibu yang tampak mengelus dada terkejut atas perbuatan suaminya.
"Apa-apaan kamu memukul Alfian seperti itu hah! Papa saja tidak akan pernah membiarkan sedih melingkupi dirinya, lalu apa hak kamu memukul dirinya!" murka Khaisan berapi-api.
Dada bergemuruh hebat, belum puas kah anak itu mengacaukan makan malam sehingga membuat masalah baru.
"Ingat dia itu kakak kamu! Apa ini yang papa ajarkan hah! Dimana rasa hormat kamu Reyhan! Dimana?!" Khaisan meninggikan intonasi suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Satu Arah [Selesai]
RandomSeutuhnya permainan Dunia tidak ada yang tahu, 'dia' hadir dalam artian berbeda. Kasih sayang yang setara adalah sebuah angan berharga yang sampai kini belum ia dapatkan. Hukuman, kemarahan, terabaikan bahkan di salahkan menjadi makanan sehari-hari...