"Kepercayaan sudah di dapatkan, ketulusan sudah meyakinkan. Jangan sampai mengecewakan, ya."
_Reyhan Arsenio Ghazanvar_
Happy Reading
***
Diam bukan berarti lemah karena terkadang diam jauh lebih baik untuk menghindarkan pertengkarannya, terlebih satu suara yang terkesan tak enak didengar pasti menyinggung kedua belah pihak.
Untuk kali ini pilihan yang tepat adalah diam, tanpa mau merespon interaksi yang memberatkan perasaan.
Beberapa hari terakhir ia juga seakan memberi sekat antara dirinya dengan anggota keluarga, seakan menghindar dari kontak fisik apapun.
Pergi ke sekolah di pagi buta pulang ketika matahari tenggelam, lalu mendekam dalam kamar membuat kedua orang tuanya bingung harus berbuat apa.
Lebih banyak menghabiskan waktu diluar entah itu mencari tempat merefresh pikiran, jalan-jalan dengan Clarissa, ataupun berkunjung ke rumah kedua sahabatnya.
Namun, hari ini ia memutuskan langsung pulang tidak mampir kemanapun, sebab kepala yang terasa pening tak memungkinkan diajak berkeliling kota.
"Tumben pulang jam segini, gak nongkrong ke tempat diskotik sama teman-teman berandal kamu?" wanta yang rambutnya mulai memutih itu bersuara saat raga cucunya tampak oleh mata.
Tak menjawab ucapan nenek, Reyhan memilih terus berjalan melewati ruang keluarga.
"Setan! saya sedang berbicara, kurang ajar sekali kamu!" geram Fanni meletakkan teh hijaunya kasar.
Umpatan kasar nenek menghentikan langkahnya, berbalik menghadap empat orang dewasa yang duduk di sofa ruang keluarga.
"Sepertinya kamu tidak pernah bisa belajar apapun, berulang kali diperingati untuk menjaga etika dan sopan santun tapi tidak pernah kamu dengar. Kamu seperti manusia tidak bermoral! Sudah bodoh tidak berguna pula" Nenek tidak akan pernah bosan berucap sinis padanya.
"Kamu bisu hah!" damprat wanita itu tak menuai respon apapun yang ada hanya sorot hampa tidak bermakna.
Prang
Cangkir dengan teh yang masih panas hampir menghantam kepala kembali, beruntung refleksnya bagus untuk menghindar. Reyhan menatap beling yang berserakan dengan sayu, kakek sekarang selalu menggunakan kekerasan padanya.
"Kamu dengar tidak bodoh!" bentak pria itu emosi.
"Reyhan lelah dan terlalu malas untuk bertengkar" ujar Reyhan melenggang pergi.
Melihat hal tersebut menimbulkan amarah yang meluap-luap dalam diri Garendra, anak itu tidak ada takut-takutnya.
"Lihat anak yang ingin kalian banggakan tidak lebih dari sampah! Etika dan sopan satun rendah! Dia terlalu di manja sampai berlaku kurang ajar seperti itu!" babat Garendra mencak-mencak.
"Memangnya kenapa kalau aku memanjakan dia, toh papi juga memanjangkan Alfian kan" Sontak keempat orang dewasa berbeda usia itu menoleh ke sumber suara, di mana seorang wanita bersurai lurus panjang menggeret koper mendekati mereka.
"Bagaimanapun sikapnya itu tergantung sikap papi juga" sambung Aliza berdiri di hadapan sang ayah, menghadirkan decakan dari bibir pria yang tak lagi muda tersebut.
"Kamu selalu membela nya Za, kamu tidak pernah mau mendengarkan Papi" Aliza terkekeh kecil mendengar nada protes ayahnya.
"Ya, karena aku satu-satunya orang di keluarga ini yang dia percayai. Membela dan menyayangi dia adalah keputusanku, lagipula di saat dia terpuruk ada tiga orang yang akan dia datangi pertama kali, yaitu aku, Clarissa dan sahabatnya. Tidak ada kalian" Aliza menarik sudut bibir tersenyum smirk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Satu Arah [Selesai]
RandomSeutuhnya permainan Dunia tidak ada yang tahu, 'dia' hadir dalam artian berbeda. Kasih sayang yang setara adalah sebuah angan berharga yang sampai kini belum ia dapatkan. Hukuman, kemarahan, terabaikan bahkan di salahkan menjadi makanan sehari-hari...