34

2.1K 159 21
                                        

"Tidak ada yang tahu berat jalan yang di lalui, tidak ada yang peduli setipis apa benang yang menjadi jembatan berjalan. Karena mereka hanya peduli dengan apa yang di lihat saja."

_Reyhan Arsenio Ghazanvar_

Happy Reading

***



"Bagaimana, sudah puas dengan liburan mu?" Pria yang tidak lagi muda itu berbicara dengan kalimat menyindir.

Di hadapannya sepasang pasutri duduk saling berdekatan, gelagatnya menunjukkan ketidaknyamanan dari apa yang akan di bahas pria yang paling di hormati dalam silsilah keluarga.

"Kalian tidak lupa sesuatu kan? Terutama kamu Sandra, belakangan ini papi perhatian kamu bertidak berlebihan. Secara terang-terangan kamu melanggar perjanjian" pria yang sudah memiliki dua orang cucu itu menyorot tajam menantunya.

Sudah ia tekankan untuk tetap berada dalam lingkaran yang dirinya tentukan, tapi lihatlah dengan berani keduanya mulai memberontak. Terutama wanita itu, wanita yang sampai sekarang tak begitu ia sukai, wanita yang dipinang putranya tanpa persetujuan dirinya.

Sandra hanya menunduk, sebenarnya ia tidak punya kuasa menentang ayah mertuanya.

"Pi, tolong. Biarkan aku melakukan apa yang memang seharusnya aku lakukan sejak dulu, Aku lelah menuruti keinginan papi" Khaisan menatap sang ayah lelah.

Tidak cukup pria itu selalu mengendalikan dirinya, bahkan semua anggota keluarga harus tunduk di dalam perintahnya.

Apa-apa harus sesuai keinginan pria itu, sampai rasanya bernapas juga harus berdasarkan persetujuan sang ayah.

"Wah Khaisan wah!" Garendra bertepuk tangan takjub dengan senyum miring nya.

"Kamu berani berbicara seperti itu pada papi? Kamu tidak lupa kan siapa yang sedang kamu ajak berbicara?!" desis Garendra menyimpan kemarahan dalam dirinya.

Putra satu-satunya itu mulai melawan, mulai bergerak berlawanan arah dengan keinginannya. Apa anaknya itu sudah lupa peristiwa yang memborbardir keluarga di masa lalu, jika memang mereka mulai lupa maka ia akan mengingatkan kembali.

"Aku tidak lupa Pi, tapi aku pikir yang selama ini dilakukan tidaklah benar. Aku tidak bisa membenci maupun menyalakan dia, aku tidak bisa Pi. Apa yang aku inginkan bertolakbelakang dengan yang harus aku lakukan" Laki-laki dua anak itu menyuarakan isi pikirannya.

"Papi sudah mengatakan apa yang papi inginkan sebagai perjanjian kita, kalian pun sudah menyetujuinya. Jadi jangan harap kalian bisa berubah sesukanya" Garendra menyunggingkan senyum picik.

Jangan kira perjanjian yang dibuat 16 tahun yang lalu bisa dilupakan begitu saja, walaupun tidak tertulis tapi ingatan seorang Parvez Garendra Mahardika tidak bisa dipermainkan.

Sampai saat ini ia masih menyimpan kemarahan atas apa yang terjadi bertahun-tahun lalu, setiap melihat sosok anak laki-laki itu membuat dirinya muak.

"Apa salahnya dengan menerima Reyhan, memberikan dia sedikit kasih sayang. Dia juga anak aku pi" balas Khaisan meminta pengertian ayahnya.

"Tidak cukup dengan membiarkan dia hidup berdampingan di sini? Kamu sepertinya sudah bosan melihat wajah anak itu, ya? Papi bisa loh mengirim dia ke dalam tanah kapanpun yang papi mau"Garendra berucap tenang seolah kalimatnya tidak berarti apa-apa.

Sandra refleks menggelengkan kepalanya kuat, lama ia terdiam dengan keinginan sang mertua di tuntut menurut dan mengabaikan anaknya.

Pria tua itu penuh dendam dalam dirinya, menganggap peristiwa yang lalu di sebabkan oleh kehadiran salah satu cucunya.

Tak Satu Arah [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang