60

3K 173 42
                                    

"Perhatian ucapan mu yang kadang terlalu tajam, hingga enggan tuk diterima hati."

_Reyhan Arsenio Ghazanvar_





Happy Reading....

***



"Kakek minta maaf Rey!" seru pria dengan tongkat hitam pendek menyangga tubuh ringkihnya.

Tepat beberapa langkah di hadapannya seorang remaja menghentikan langkah, tanpa menoleh kebelakang.

"Kakek tahu selama ini Kakek sangat jahat kepada kamu, Kakek benar-benar menyesal Reyhan" lanjut Garendra menurunkan segala gengsinya.

Beberapa hari terakhir ia merenung seorang diri, memikirkan segala peristiwa juga perbuatan yang dirinya lakukan. Sampai pada akhirnya dia sampai pada puncak kesimpulan yang menjeratnya ke relung rasa bersalah.

Memberanikan diri meminta cucunya itu datang ke rumah menemuinya, meski harus berbohong dengan mengatakan keadaan Khaisan tidak baik-baik saja. Benar saja, anak itu pulang seorang diri.

"Kakek hanya bisa meminta maaf, karena tidak bisa merubah kesalahan yang telah kakek perbuat. Kakek ingin menebus perbuatan buruk Kakek, khususnya kepada kamu" ungkap Kakek dipenuhi penyesalan.

Anak muda itu membalikkan tubuh, menatap lamat-lamat pria tua dihadapannya. Ia hanya diam tidak menanggapi atau menunjukkan sebuah ekspresi yang berarti.

"Nenek juga meminta maaf Rey. Ucapan Nenek pasti sangat menyakiti hati kamu, dan Nenek sangat menyesalinya. Tolong maafkan Nenek, Reyhan" timpal seorang wanita yang juga berada di tengah ruang tamu. 

Reyhan melirik sekilas sang Nenek, raut penyesalan jelas tampak di wajah wanita itu. Jika diperhatikan dari tutur katanya, kedua orang dewasa itu seperti menitik beratkan sebuah harapan pada dirinya.

"Maaf ya? Terkadang maaf itu hanya sebagai formalitas tanpa dibarengi makna dan ketulusan. Kakek pernah meminta maaf beberapa waktu lalu, meminta kesempatan memperbaiki hubungan. Akan tetapi itu hanya sebuah drama agar Reyhan pergi dari rumah ini. Sejak saat itu rasa ragu untuk memaafkan seseorang itu ada, apalagi untuk memberi kesempatan kedua, itu sulit" ungkap Reyhan tanpa mengalihkan pandangan.

"Lalu, lalu apa bisa kami lakukan supaya kamu mau memaafkan kami, supa kamu tinggal lagi di sini?"

"Tidak ada."

Pria tua itu mendesah kecewa, sepertinya anak muda itu memang tak memiliki niatan memberikan secuil kesempatan untuk dirinya. Iya, dirinya teramat sadar akan perbuatan yang begitu kejam tidak mungkin bisa terselesaikan hanya dengan satu kata maaf, yang dibarengi bumbu penyesalan juga pemanis air mata.

"Tidak apa jika kamu tidak mau memaafkan Nenek dan Kakek, tetapi kamu maukan pulang ke rumah ini lagi? Kita tinggal bersama lagi. Nenek mohon" pinta Fanni meraih tangan cucunya.

"Kenapa, Reyhan harus pulang?" tukas cowok jangkung itu melepas cekalan sang Nenek.

"Karena di sini rumah kamu. Nenek ingin keluarga kita kembali utuh, dan kita tidak saling bermusuhan. Hanya itu yang nenek inginkan di sisa hidup Nenek" balas Fanni secara gamblang. 

"Sayangnya Reyhan tidak punya rumah!" tandas pemuda itu menekankan setiap kata.

Baginya rumah itu telah lebur semenjak ia menyadari bahwa keluarga tidak menganggapnya ada, mereka hanya mencantumkan namanya sebagai formalitas bukan prioritas.

Di samping itu dia juga merasa lucu, mendengar kedua orang dewasa itu meminta maaf dan memintanya pulang. Bukankah mereka yang paling antusias menanamkan luka?

Tak Satu Arah [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang