"Sesulit apapun hidup, serumit apapun pikiran, sebanyak apapun masalah. Ingatlah pasti akan ada jalan terbuka menyambut di hari bahagia"
_Reyhan Arsenio Ghazanvar_
Happy Reading
***
Dingin air menyusup, terpaan angin malam serasa menusuk kulit, ditemani cahaya terang bohlam lampu memusnahkan rasa ingin beranjak pergi.
Duduk di tepi gazebo dengan kaki terendam beningnya air kolam renang, remaja laki-laki itu termenung, mata sayu memusat pada pantulan diri.
Entah dari mana datangnya sesak yang kembali mendominasi diri, pedih hati tidak ada yang peduli.
Memberatkan netra membendung gelombang air mata, ingin berteriak mengatakan ia hanya butuh kasih sayang yang tulus, kalau boleh ingin sedikit menggeser posisi kakaknya.
Tidak banyak hanya sedikit saja, supaya dirinya tampak di mata mereka. Setidaknya itu mampu mengisi ruang bahagia walaupun setetes dari triliunan bentuk keharmonisan keluarga.
Inginnya tidak muluk-muluk, dianggap hadirnya dan dipandang sebagai Reyhan tanpa dibandingkan lagi dengan kakaknya, itu saja sudah lebih dari cukup.
Tapi apa hal itu mungkin? Seperti sulit.
Pulang dari rumah sakit tiga hari yang lalu bukan berarti hidupnya akan tenang karena mereka merasa bersalah atau setidaknya sedikit berubah, karena itu hanya angan.
Kakek tidak merasa salah dengan apa yang terjadi, pria itu justru menyunggingkan senyum kemenangan saat mereka kembali bertemu.
"Itu hanya hal kecil yang kakek lakukan sebagai hukuman atas kekurang ajaran kamu. Tapi tenang, karena masih ada hal yang lebih dari ini jika kamu berani berulah" Kalimat sambutan manis kakek tanpa merasa secuil rasa bersalah.
Sepertinya kakek memiliki dendam kesumat pada dirinya yang membuat pria itu seakan enggan melirik keberadaannya, amarah dengan mudah dilampiaskan hanya pada dirinya.
Berbagi hal yang terjadi tapi pria itu seakan tidak peduli, karena bagi pria itu apapun masalahnya Reyhan lah penyebabnya.
Belum lagi nenek hadir dengan kata-kata pedasnya, tanpa bertanya keadaan cucunya sendiri.
"Ternyata masih hidup, nenek kira akan menyambut mayat kamu" Kalimat kejam yang menancap tepat relung hati.
Tidak ada kepedulian maupun secuil rasa khawatir, kedua orang dewasa itu menatap dingin kearahnya.
Mata yang tidak pernah menunjukkan binar kasih sayang padanya, mata sedingin kutub utara menghunus pergerakannya, sorot yang berhasil mematahkan segala harap yang timbul dalam dirinya.
Menggerakkan kaki seolah menendang nendang air, menciptakan bunyi cipratan air dimalam hari. Entah berapa kali terhitung hela napas berat disertai tetes air mata yang tak bisa dikendalikan, meratapi alur kisah yang tersa pahit di jalankan.
Berat dan semakin berat setiap hari, jika bisa ia ingin berlari jauh sehingga tidak ada siapapun bisa menemukannya.
Dulu nenek hanya akan membandingkan serta mencaci maki dirinya lewat kalimat pedas mematikan sepanjang waktu, tapi sekarang wanita berusia senja itu bahkan membawa kata kematian, seakan dirinya hidup sebuah kesalahan besar.
Andai mereka tahu sesayang apa ia pada keluarga dan andai mereka mau mengerti apa hal yang melatarbelakangi sikapnya akhir-akhir ini.
"Di sini ternyata, mama cariin dari tadi" Wanita 37 tahun dengan nampan di tangan mendudukkan diri di samping anaknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Satu Arah [Selesai]
RandomSeutuhnya permainan Dunia tidak ada yang tahu, 'dia' hadir dalam artian berbeda. Kasih sayang yang setara adalah sebuah angan berharga yang sampai kini belum ia dapatkan. Hukuman, kemarahan, terabaikan bahkan di salahkan menjadi makanan sehari-hari...