"Semakin berat beban di pikul semakin terasa lelah untuk sekedar menopang."
_Reyhan Arsenio Ghazanvar_
Happy Reading
***
Hanya perlu untuk saling mengerti bahwa orang lain tidak selamanya bisa menyuapi ekspektasi kita dengan kenyataan. Ada kalanya harapan yang tinggi dipatahkan berulang kali, sampai titik bangkit rasanya tidak ada lagi.
Terjerembab ke dasar jurang oleh angan yang ketinggian itu sudah biasa, tapi yang menjadi tanya adalah.
Mampukah kembali mengukir harap kala patah terlalu parah?Saat terjebak dalam labirin apa yang akan dilakukan? Sibuk mencaci maki dan menyalakan lorong labirin yang berbelok-belok ataukah berusaha mencari jalan keluar di tengah-tengah kerumitan dari persimpangan yang tidak tentu arah?
Mencari jalan keluar tentu terdengar menjadi pilihan yang terbaik, bukan? Namun, tidak jarang orang yang lebih memilih mencaci maki tanpa peduli tetap terperangkap dalam kerumitan.
Dalam kerumitan ekspektasi itulah pria berkemeja putih berdasi hitam itu tersesat, harapan besar dipupuk tanpa menyisakan ruang sedikitpun guna menjadi wadah sebuah kekecewaan.
Kali ini Khaisan kembali menyalahkan hasil juga orang yang memperolehnya. Satu lembar berisi sederet angka juga huruf itu berhasil mematahkan segalanya, kesepakatan yang di sepakati tak menuai hasil yang dikehendaki.
Selembar kertas berisi pencapaian peserta didik selama satu semester sangat-sangat mengecewakan di mata pria paruh baya itu.
"Kenapa seburuk ini Reyhan?! Satu semester kamu ngapain aja Rey?! Belajar atau tidak?!" bentak Khaisan melempar raport anaknya ke atas meja.
Ia sudah membandingkan dengan nilai yang diperoleh Alfian berharap hasil keduanya tidak beda jauh, tapi sia-sia saja. Nilai Reyhan hanya dipenuhi huruf C dan D berbeda jauh dari Alfian yang didominasi huruf A.
"Kamu Papa sekolahkan di sekolah elit bukannya pintar malah semakin goblok! Kalau niat kamu cuma menghabiskan uang Papa lebih baik tidak usah sekolah!" hardik Khaisan melampiaskan emosi.
Sekarang celah bebas dari rantai kendali Papinya musnah untuk kesekian kali.
"Udah sih, semester depan kan bisa dibenahi lagi. Aku yakin kok nilai Reyhan akan lebih baik lagi" bela Sandra tak kuasa melihat anaknya menunduk tanpa berucap satu katapun.
"Kamu tidak tahu seberapa penting nilai dia kali ini Sandra. Papi akan menerima dia dan berhenti mengekang kita untuk menyayanginya, kalau nilai-nilai Reyhan bisa sebanding dengan Alfian!" seru Khaisan di hadapan sang istri.
"Tapi Reyhan tidak sepintar itu Khai!" tukas Sandra.
Kapan permasalahan pintar dan bodoh ini berakhir, kapan keluarga ini berhenti memperdebatkan masalah prestasi anak-anak. Lama kelamaan ia menjadi sangat muak saat kelemahan Reyhan terus di permasalahkan.
"Dia bisa! Cuma kemalasannya saja yang mendarah daging! Terakhir kali nilai di raportnya sangat bagus bahkan masuk 10 besar, tapi kali ini....." Khaisan tak jadi melanjutkan ucapannya.
"Hanya perkara angka itu bukan menjadi masalah besar seharusnya" ucap Sandra kembali.
"Justru dengan nil—" Sandra memotong penyanggahan suaminya.
"Kamu hanya di bodohi otak licik orangtuamu. Kalau memang mereka mau menerimanya Reyhan, nilai materil tidak akan menjadi tolak ukur" sergah Sandra membungkam mulut suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Satu Arah [Selesai]
AcakSeutuhnya permainan Dunia tidak ada yang tahu, 'dia' hadir dalam artian berbeda. Kasih sayang yang setara adalah sebuah angan berharga yang sampai kini belum ia dapatkan. Hukuman, kemarahan, terabaikan bahkan di salahkan menjadi makanan sehari-hari...