"Bersama melukai, pergi tak peduli, kembali hanya untuk menyakiti, yang satu kembali pecah beribu-ribu"
_Reyhan Arsenio Ghazanvar_
Happy Reading
***
Pertemuan kembali dengan sang kakak sangat mengusik hatinya, memori dimana ia menerima di banding-bandingkan dengan susunan kata menyakitkan kembali menyerang perasaan.
70% dari hal yang ia lalu hari ini adalah ketidaksukaan, 15% keterpaksaan, 10% ketidak percayaan dan amarah, kemudian 5% sisanya hanya garis palsu terpatri di bibir tipisnya.
Kenapa juga Alfian harus pindah ke Jakarta, kurangkah kehidupannya di sana atau hanya ingin memamerkan keharmonisan keluarga di depan anak yang terasingkan.
Dulu tidak pernah sekalipun Reyhan berbicara buruk mengenai kakaknya, tapi sekarang ia sampai berpikiran buruk mengenai sosok Alfian.
Rasa cemburu yang ditanamkan keluarganya sendiri menjadi penyebab sifat egois, keras kepala, juga sosok pendendam dalam diri Reyhan semakin meluas.
Berdiri di dalam lift seorang diri memberi efek kesunyian yang menyenangkan, di tangan kirinya terdapat botol kecil berisi tablet obat.
Mungkin malam ini ia bisa tertidur hanya dengan bantuan obat, sungguh ia tak ingin menyakiti diri sendiri sebenarnya tapi mau bagaimana lagi ia seakan terus di dorong melakukan hal yang sama.
Ia tak mau memikirkan apapun malam ini, ia tak mau terjebak lagi dalam rumitnya cerita yang terangkai dalam benak.
Reyhan melangkah keluar dari dalam lift begitu benda itu berhenti di lantai 5, di mana unit apartemen mewah nya berada.
Reyhan menekankan beberapa digit angka sebagai kode akses, pitu terbuka secara otomatis. Tanpa beban ia melangkah masuk begitu saja, tanpa salam atau apapun itu.
Remaja bersurai pirang itu mengeratkan genggaman pada botol kecil di tangannya, perlahan tapi pasti tangan itu ia masukkan ke dalam saku celana.
Seharusnya Reyhan sadar bertemu Alfian itu berarti bertemu yang lainnya juga, terbukti dengan empat orang dewasa yang kini duduk santai di ruang tamu.
Tidak ada Aliza karena wanita itu masih ada urusan penting katanya, dan entah lupa apa bagaimana wanita itu tak memberitahukan perihal keluarga mereka yang akan ke Jakarta.
Reyhan masih berdiri menatap orangtua juga kakek dan neneknya datar, begitupun mereka yang menatap dirinya seolah menilai.
Mengapa mereka harus datang menemuinya, setelah satu tahun lebih tidak peduli sedikitpun. Kenapa tiba-tiba?
"Duduk Reyhan" suara rendah nan tegas itu menginterupsi.
Tak punya pilihan lain Reyhan memilih menurut, ia duduk di salah satu sofa memberi jarak yang lumayan jauh.
"Hebat ya, jam segini baru pulang, ngelayap kemana dulu?" sindir wanita berumur kembali menyapa telinga setelah sekian lama.
"Kerjaannya belajar atau cuma menghambur-hamburkan uang, di kasi fasilitas bukannya dimanfaatkan dengan baik malah di sia-siakan" nyinyir nenek seenaknya.
Reyhan menatap wanita itu dengan alis terangkat, seingatnya ia tak menghamburkan uang pemberian papa maupun sang Tante.
"Belajar kok, di sekolah Reyhan belajar dari pagi sampai siang, pulang sekolah juga kadang-kadang kalau niat. Nilai gak buruk-buruk amat gak juga bagus-bagus banget, gak teratas tidak juga terbawah, di tengah-tengah lah ya. Terus kalau masalah uang itu kan emang di kasih ya, kalau gak di hambur-hamburkan kan sayang ya cuma jadi pajangan di ATM. Lagipula gak akan jatuh miskin dong perkara uang itu" sahut Reyhan lancar tanpa hambatan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Satu Arah [Selesai]
RandomSeutuhnya permainan Dunia tidak ada yang tahu, 'dia' hadir dalam artian berbeda. Kasih sayang yang setara adalah sebuah angan berharga yang sampai kini belum ia dapatkan. Hukuman, kemarahan, terabaikan bahkan di salahkan menjadi makanan sehari-hari...