Sean tengah dirundung perasaan cemas, pasalnya, sejak landing tadi, Ales yang sudah berjanji akan datang ke penthouse gadis itu tidak juga kunjung datang, lelaki itu bahkan tidak mengabari Sean sejak ia terakhir bilang akan mampir kerumah Papanya untuk mengobrol. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 malam dan ponsel Ales bahkan mati, tidak dapat dihubungi.
Disaat seperti ini, Sean baru merasakan kehilangan Gio. Pasalnya, biasanya anak itulah yang jadi opsi utama Sean mencari Ales yang tengah hilang. Tapi sekarang, ia tak punya pilihan selain menunggu. Detik dan menit terus berlalu, hingga saat jam menunjukkan pukul 12 lewat 30 menit, lift penthouse Sean tiba-tiba saja terbuka.
Gadis yang tengah menunggu di ruang tamu itu langsung melongok untuk melihat kedatangan Ales. Sudah pasti Ales, karena orang yang punya akses khusus ke lantai penthousenya hanya lelaki itu dan Vier dulu. Bahkan El pun perlu dijemput dulu dilobby jika berkunjung kesana.
Lelaki itu hanya berjalan keluar dari lift dan berhenti, tidak kunjung menghampiri Sean yang sedang terduduk di sofa. Sean memanggil nama Ales berulang kali, sebelum memutuskan untuk menghampiri karena tak kunjung mendapat jawaban. Gadis itu mendekat kearah tubuh Ales yang limbung, bau alkohol bercampur rokok kuat tercium dari baju seragam pilot yang lelaki itu kenakan. Dari situ, Sean dapat menyimpulkan.
Ales tengah mabuk berat.
"Ales? Kamu mabuk?". Tanya Sean, berupaya menggapai pipi Ales guna menatap mata sang pilot.
Lelaki itu akhirnya menemukan kedua manik mata Sean, tatapannya meluruh, seakan sesuatu tengah mengganjal perasaannya. Tidak butuh waktu lama sebelum dua netra itu membendung airmata, dengan wajah memerah, lelaki itu mulai terisak.
Sean panik bukan main melihat kondisi Ales. "Ales? Kamu kenapa? Kenapa nangis?".
Ales memeluk figur Sean yang jauh lebih kecil darinya, melesakkan isakannya agar teredam di pundak gadis itu, membiarkan perasaannya terluapkan dengan menenangkan diri di pelukan sang gadis, ia begitu rapuh, begitu hancur disana.
Sean merasakan ada yang salah ketika pelukan Ales bahkan mengisyaratkan getaran di sekujur tubuh lelaki itu. Ia tak berhenti terisak di pundak Sean, airmatanya mulai membasahi area pundak baju yang gadis itu kenakan. Pada akhirnya, Sean meraih bagian belakang leher Ales dan menenangkannya dengan menyapukan jemarinya disana perlahan.
"It's okay, love. You're okay. Everything will be okay, Ales". Ucap Sean berulang-ulang, seakan tengah menanamkan di pikiran Ales.
Ales tidak sedikitpun menjawab, ia hanya terus menangis sampai tubuhnya lemas dan hampir jatuh, namun Sean dengan sekuat tenaga menahannya, berupaya membawa tubuh Ales berjalan dengan sisa tenaga terakhir di tubuh lelaki itu menuju ke kamar. Disanalah Sean membiarkan Ales duduk di ujung sisi kasur.
Lelaki itu menunduk dan menutup mukanya, tak mau menatap Sean yang berada di depannya. Jadi, yang selanjutnya gadis itu lakukan ialah berlutut di hadapan Ales, dan mensejajarkan mata mereka. Gadis itu menarik dua tangan Ales yang menutupi wajahnya dan menggenggamnya erat.
"Aku tahu kamu mabuk, but are you sober enough to tell me what happened to you? Kasih tahu aku kamu kenapa, Ales.. Aku khawatir". Ucap Sean lembut, menatap dalam kearah Ales yang masih sibuk mengatur nafasnya yang sesak.
Sean menghapus airmata yang membasahi pipi Ales. "Tell me what you're feeling, Capt. Aku sedih liat kamu begini.. Kasih tau aku, apa yang bisa aku lakuin untuk meringankan lukamu?".
Ales pada akhirnya membuka suaranya, begitu dalam dan parau. "Tadi saya kerumah Papa..".
"Then? What happened, love? Did something bad happened there?". Tanya Sean lembut, dengan sabar menanyakan perihal penyebab kekacauan Ales saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEPARTURE TIME
RomansaSebuah lanjutan perjalanan cinta dari Ales, Captain Pilot penerbangan pesawat komersial ternama dan Oceana, artis kelas dunia mempertahankan cinta mereka. Ditengah cinta yang hampir berlabuh, selalu ada cobaan yang menanti. Entah cobaan itu berasal...