Niatnya mau update judul lain tp otak lagi seger bgt nulis Ales Sean wkwkwkwkwk
Judul lain kita tunda aja ke malem deh~
———
"Ales, aku mau ikut flight mu aja, masa gak boleh? Aku gak mau pisah". Rengek Sean sejak tadi, gadis itu bergelung manja di pelukan Ales, keduanya tengah berbaring di sofa dan melakukan cuddling menemani sore terakhir mereka di Seoul.
Ales mengusap punggung Sean halus. "Kan gak boleh sama Adriel, sayang. Saya sih mau aja kita barengan, tapi gak aman buatmu".
Sean kembali merengek, mengusal dan memukul-mukul dada Ales kecil. "Ih, Adriel aku potong gaji aja kali ya? Masa gak bolehin aku sepesawat sama pacarku sendiri".
Hati Ales berbunga mendengar kata-kata itu, senyumnya tak mampu lagi ditahan. "Justru karena saya ini pacarmu, makanya kita gak boleh satu pesawat".
Sean mencebikkan bibirnya. "Nanti kalo kamu digodain pramugari gimana? Aku gak bisa berantemin pramugarinya".
Ales tak mengerti mengapa, tapi sifat manja Sean justru selalu membuatnya jatuh semakin dalam pada gadis itu. "Bibirnya gak usah manyun gitu, jadi gemes saya".
"Ih, kamu. Aku lagi galau gini kamu malah ngeledekkin. Udah ah, males aku sama kamu, Les". Balas Sean sebal, berupaya melepaskan diri dari pelukan Ales.
Ales tertawa terbahak, bahkan sampai tersedak. Perilaku ngambek Sean ingin rasanya ia abadikan dalam sebuah botol kaca, sebab gadis itu selalu menggemaskan saat tengah merajuk padanya.
"Maaf, maaf. Udah jangan kemana-mana, mau kemana sih? Kan lagi saya peluk. Besok pisah sehari loh?". Ucap Ales, sembari mengeratkan pelukannya pada Sean hingga gadis itu berhenti berontak.
Sean memilih kembali bersandar di dada Ales, mendengarkan alunan jantung sang lelaki. "Aku kenapa jadi clingy banget sama kamu ya, Les? Sehari aja gak bareng, rasanya sedih".
Ales mengecup puncak kepala Sean, satu memori baru terbentuk di kepalanya.
"Kamu pikir saya nggak? Saya juga sama, kan saya udah bilang, hidup saya aja berputarnya di kamu, Oceana". Balas Ales.
Mata indah itu kini menatap kearah Ales. "Kalo gak ada kamu, sekarang aku gimana ya?".
Ales menyapukan ibu jarinya di pipi Sean, menyentuhnya dengan hati-hati. "Salah. Yang benar, kalo gak ada kamu, saya yang gimana".
Sean menunjukkan raut tak suka. "Dasar gak mau kalah kamu".
"Memang, pokoknya kalau urusan siapa yang lebih sayang, saya gak mau kalah sama kamu. Biasain diri kamu untuk ngalah dari sekarang, karena ini akan terjadi seumur hidupmu. Nanti juga kalo kita punya anak, saya gak mau ngalah sama dia kalau lagi rebutan kamu". Balas Ales sembari mengakhiri perdebatan kecil itu dengan ciuman. Sean tersenyum diantara ciuman mereka saat mendengar kata-kata Ales.
Memagut bibir kekasihnya dengan penuh cinta, membentuk satu lagi memori baru di kepalanya akan satu sore di kota Seoul, berharap untuk menggantikan memori lamanya akan kota itu yang dulu selalu ia hindari.
Biar Oceana menghapusnya, menggantikannya dengan serabut perasaan baru yang Ales percayakan sepenuhnya. Bagai deburan ombak yang setia menghapus ukiran yang terbentuk di pasir.
———
"Maksud kamu apa, sih? Gak lucu bercandanya". Ucap Ales pada Rea.
Mereka kini tengah duduk di dalam mobil didepan rumah Rea, baru saja kembali dari kegiatan berkencan dengan dinner di hotel berbintang dan dilanjut dengan nonton film di bioskop yang Ales sewa satu studio full.
"Aku serius, Ales. Aku rasa kita gak bisa lanjutin lagi hubungan ini". Balas Rea singkat.
Tangan Ales lemas rasanya, ia sampai menjatuhkan pegangannya yang tadinya kencang di stir. "Karena apa? Apa alasannya? Dari tadi kamu baik-baik aja, we even still kissed during our dinner and movie time. Kenapa tiba-tiba minta putus?".
"Kita bahkan gak pernah resmi pacaran, Ales". Jawab Rea lagi, menggurat satu garis panjang dan dalam melukai hati Ales.
Ales menatap gadis disampingnya dengan tatapan tak percaya. "Kamu yang gak pernah mau setiap saya minta kamu jadi pacar saya dan resmiin hubungan kita di depan orang-orang, Rea. Kamu yang selalu bilang kita bisa jalanin ini tanpa status apapun, tanpa siapapun yang tau. Kenapa sekarang jadi kayak saya yang salah?".
"Gak ada yang salah, Les...". Ucap Rea kalut.
"Terus kenapa kamu mau kita selesai? Kamu belum jawab pertanyaan saya dari tadi". Tanya Ales balik dengan nada menuntut.
Rea akhirnya menjatuhkan airmatanya, gadis itu terisak, kata-kata tak mampu keluar dari mulutnya. "Aku bingung, Ales".
"Bingung kenapa? Apa yang bikin kamu kepikiran? Bagi ke saya, kasih tau saya. Biar saya ngerti, kita cari jalan keluarnya sama-sama, gak kayak gini". Balas Ales.
Rea semakin menundukkan kepalanya, seakan begitu terpukul karena harus menyakiti hati keduanya. Lidahnya masih kelu untuk melanjutkan pembicaraan ini.
"Rea, ngomong sama saya. Jangan putusin sendiri. Jawab". Desak Ales lagi.
Rea akhirnya menjawab dengan nada tinggi. "Orangtuaku gak setuju aku sama kamu, Ales! Keluargamu terpandang, kamu terlahir serba berkecukupan, bahkan lebih. Status sosial kita terlalu jauh, aku bahkan masih harus hidupin dan biayain kuliah adikku. Kita berbeda".
Ales tercekat, tidak mengira hal seperti ini akan menjadi penghalang diantara keduanya. "Tapi kan...".
Rea memotong omongan Ales. "Dan bukan itu aja, kita ini dua-duanya kerja di bidang yang sama. Aku pramugari dan kamu Copilot. Kamu sadar gak, selama ini kita mati-matian cari waktu supaya bisa sama-sama? Waktu kita habis untuk kerjaan, Les. Setiap hari kita pergi ke destinasi yang berbeda, kamu bahkan harus berulang kali keluar uang buat minta kantor rubah schedule-Mu supaya kita bisa ketemu. Gimana nanti kalo kita nikah? Kita bakal jarang ketemu. Gimana hubungan itu bisa berjalan dengan sehat, Ales?".
Ales terdiam, pembicaraan ini sungguh jauh diluar dari ekspektasi Ales akan tercetusnya sebuah perkara di dalam hubungan. Rea menangis sejadi-jadinya disebelahnya, Ales tahu, gadis itu pun terluka sekarang.
"Rea, saya gak pernah minta dan gak bisa milih dilahirin di keluarga yang mana. Tapi, harusnya itu gak jadi masalah besar. Justru saya bisa berkontribusi bantu kamu supaya lebih ringan. Dan soal kerjaan kita, kamu bisa berhenti dari pekerjaanmu kalau nanti kita menikah, saya bisa hidupin kamu dan keluarga kita, jadi harusnya kamu gak perlu khawatir soal gimana nanti kita jadi suami-istri". Hanya itu yang mampu Ales ucapkan.
Rea menoleh, jelas Ales sepertinya menyinggung perasaannya. "Dan aku hidup bergantung dengan uangmu? Mana bisa begitu, Ales? Itu namanya aku gak tahu diri. Aku gak pantas bersanding sama kamu .
"Kamu nemenin saya dari saya masih bar 1, masih Line training. Sekarang saya sudah bar 3 dan kamu masih bilang kamu gak pantas? Saya gak ngerti sama jalan pikiranmu". Balas Ales dengan nada kecewa.
Pembicaraan itu akhirnya terhenti saat Rea memutuskan untuk turun dari mobil. "Aku mau turun, aku butuh waktu sendiri. Tolong jangan temuin aku dulu, kasih aku waktu untuk pikirin semuanya, Les".
Dan malam itu, hati Ales terluka. Untuk pertama kalinya menerima guratan menyakitkan yang menyayat dan membekas di hatinya karena permasalahan cinta.
Dan untuk pertama kalinya juga, Ia takut kehilangan.
———
Fyi, Font yang aku tulis gini itu FLASHBACK ya gais! 💕
![](https://img.wattpad.com/cover/318310075-288-k720040.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DEPARTURE TIME
RomantikSebuah lanjutan perjalanan cinta dari Ales, Captain Pilot penerbangan pesawat komersial ternama dan Oceana, artis kelas dunia mempertahankan cinta mereka. Ditengah cinta yang hampir berlabuh, selalu ada cobaan yang menanti. Entah cobaan itu berasal...