Chapter 23 - The Thoughts

2.6K 173 4
                                    

Sean saat ini tengah berada di ruangan meeting besar milik Starsun, ruangan yang hanya dipakai jika ada sesuatu yang penting yang harus didiskusikan oleh perusahaan. Seluruh petinggi dan jajaran yang berisikan direksi hadir disana, bak tengah menghakimi sang gadis yang sedang tertunduk di bangkunya.

"Terus gimana ini, Adriel? Dia artis kita yang paling huge, kalau tiba-tiba diberitakan hamil dan menikah bisa kacau kita. Nilai saham dan pendapatan bisa langsung anjlok". Ucap sang direktur.

Adriel mengusak rambutnya, ia sendiri bingung akan langkah apa yang harus diambil oleh perusahaan saat ini. "Saya ngerti, Pak. Kita gak bisa salah langkah".

"Oceana itu punya impact yang besar sekali, bahkan di saat namanya gak seperti dulu. Still, sampai detik ini belum ada lagi artis yang namanya mendunia seperti dia dengan dampak yang seluas itu. She's our main person". Gantian, tim riset menambahi, membuat beban pikiran bagi mereka yang hadir disana semakin bertambah.

"Opsi go public kayaknya akan menjadi hal yang buruk. Saran saya, tutupi saja. Gak usah diumumkan ke publik. Apalagi nama Oceana udah mulai naik lagi semenjak kontrak barunya". Saran salah seorang dari tim pemasaran.

Sean bersumpah, pembicaraan ini membuat kepalanya sakit, gadis itu bahkan belum diberi waktu sedikitpun untuk berbicara. Sean mengintrupsi dengan berjalan keluar ruangan, ia bersumpah, denyut di kepalanya makin tak karuan tatkala menyentuh luar ruangan.

Pada akhirnya, El mengikuti dari belakang, memanggil Sean yang terus berjalan menuju ke lift. "Sean, mau kemana? Itu belom kelar internal meetingnya". Lelaki itu menahan lengan Sean yang sudah hampir memasuki lift.

"Gue capek, El. Kepala gue sakit banget. Gue gak bisa lanjutin". Balas Sean singkat.

"Tapi ini penting buat masa depan lo, buat anak lo juga, Sean". Balas El lagi.

Gadis itu memekik. "All they did was accusing me, El! Mereka cuma mikirin gue sebagai aset mereka, bukan mikirin diri gue ataupun anak gue!".

El terdiam, menyaksikan bagaimana wajah Sean memerah. "Dari tadi gue bahkan gak dikasih waktu buat mengintrupsi, gak ada yang nanya pendapat gue kan? Kalian cuma sibuk sama urusan perusahaan, sama pendapatan perusahaan. Bagian mana kalian mikirin masa depan gue?". Sembur Sean penuh emosi.

"Termasuk lo, El". Ucap Sean sebelum masuk kedalam lift. "Gue gak mau diganggu, gue mau break dulu sebelum jadwal pemotretan di Singapore nanti. Jangan hubungin gue". Ucap Sean pada El.

El terdiam, mendalami dan mencoba memahami hal ini dari sisi Sean yang tengah tidak stabil emosinya, lelaki itu mau tak mau merasa bersalah, karena sebagian besar dari yang Sean katakan rasanya benar

———

"Terus kamu mau gimana, sayang? Saya bisa bantu kamu apa?". Ucap Ales di telepon.

Sean menghela nafasnya. "Aku mau kerumahmu yang di Bali. Aku gak mau ditemuin siapa-siapa dulu, kalo aku disini nanti pasti El atau orang kantor ada yang datang".

"Tapi saya baru bisa susul kamu lusa, sayang. Gak apa-apa?". Tanya Ales lagi.

"Gak apa-apa, aku udah biasa kok nungguin kamu pulang". Ucap Sean.

Ales terkekeh. "Manis banget sayang saya ini, bikin saya kangen aja".

"Cepet pulang, Ales. Aku butuh kamu". Balas Sean dengan nada manja.

Ales gantian menghela nafasnya. "Iya, Oceana. Tunggu ya, saya juga pengennya pulang. Jagain kamu sama anak kita. Gak tenang rasanya kalo jauh-jauh dari kamu".

Sean terdiam, entah karena bawaan bayinya atau memang gadis itu merindukan Ales setengah mati sekarang. Tapi rasanya, mendengar suara itu di telepon, membuatnya ingin menangis.

"Oh iya, sayang. Nanti kalo kamu mau ke Bali, jangan naik pesawat commercial ya. Use a private jet instead, soalnya kamu gak sama Adriel kan berangkatnya? Saya khawatir gak aman kalo gak ditemenin. I'll get the jet ready for you". Jelas Ales, menuai senyuman jahil di wajah Sean.

"The perks of having om-om pilot kaya as my boyfriend". Komentar Sean, usil.

Ales berdecak dari seberang sana. "Ck, ngomong gitu lagi kamu, saya hukum nanti".

"Iya, om, maaf". Balas Sean lagi disertai tawa.

Ales kembali berdecak. "Kamu nih, bikin saya minder aja macarin kamu. Ya memang sih, buat kamu kayaknya saya ketuaan. Mana kamu sebelumnya pacaran sama yang lebih muda, jadi gak percaya diri saya".

Sean tertawa kencang mendengarnya. "Ih.. Kok gitu ngomongnya, sayang? Maaf, maaf. Aku kan bercanda, kenapa jadi serius". Sean melembutkan nada bicaranya. "Kamu itu pas kok buat aku, dari segi apapun. Usia, kematangan, sifat, bahkan ukuran. Cuma kalau ukuran agak kegedean dikit sih, tapi gak apa-apa, aku suka".

"Oceana.. Udah, jangan melenceng pembahasannya". Panggil Ales memperingatkan.

Sean terkekeh lagi. "Tapi serius, Ales. Jangan pernah ngomong minder lagi, kamu tuh sempurna buat aku. Gak kurang dan gak lebih. Aku gak suka kamu ngomong kayak tadi".

"Berarti saya pantas ya bersanding sama kamu di pelaminan nanti? Jadi pendamping hidupmu sampai tua nanti?". Balas Ales, menohok batin Sean yang terdalam.

Gadis itu memilin ujung rambutnya. "Can we not talk about it, now, Ales? I really don't want to think about marriage or anything close to that right now".

Ales memilih diam untuk beberapa detik, berupaya menyelami pikiran Sean yang kini tengah buntu. "Okay.. Maaf, gak seharusnya saya omongin itu sekarang".

Sean merasakan tensi yang perlahan terbentuk diantara mereka, masing-masing dari mereka seakan tengah kalut dengan pemikiran masing-masing. "Yaudah, aku mau istirahat dulu ya, Ales. Aku capek, mau tidur".

"Iya, sayang. Sudah minum susu sama supplement yang saya beliin kemarin?". Tanya Ales memastikan.

Sean mengangguk lemah. "Udah, Ales".

"Okay. Kalau gitu, selamat tidur, Oceana". Ucap Ales dari ujung sana.

"Selamat tidur juga, Ales". Balas Sean lemah.

Tidak satupun dari mereka berani berkata lebih lanjut sebelum mematikan panggilan. Mereka begitu terlarut dengan pikiran masing-masing yang tak bersuara. Keraguan dan kerisauan Sean mengenai masa depannya dan Ales, dan juga pertanyaan Ales yang tak kunjung berbalas mengenai mau dibawa kemananya hubungan mereka.

Ales begitu menginginkan pernikahan dan keterbukaan dari Sean, terlebih dengan hadirnya anak diantara mereka. Tapi disatu sisi, Ales tahu, Sean tidak kunjung mempercayainya. Tidak juga kunjung menyambut keinginan dan tujuan baik itu agar terwujud.

Entah sampai kapan Ales harus berupaya meyakinkan, ia sendiri juga tidak bisa memastikan. Yang jelas, Ales sangat menanti saat itu akhirnya datang.

Saat dimana Sean pada akhirnya akan mengiyakan ajakan menikahnya.

———

DEPARTURE TIME Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang