Chapter 55 - Dua Manusia Lucu

2K 180 10
                                    

Sudah genap hampir 3 minggu sejak Sean menyibukkan diri di Paris dengan agenda shootingnya. Sialnya, penerbangan Ales tak sekalipun menemui titik yang memungkinkannya menjenguk sang istri walau ingin. Jadilah, mereka harus berpisah sampai seminggu lagi saat jadwal shooting Sean rampung. Pilot penerbangan itu baru saja menerima jadwal off nya selama 2 hari, membuatnya bisa menghabiskan waktu dengan sang anak yang biasanya dititip bergantian ke orangtua Ales dan Sean.

Dua laki-laki itu nampak uring-uringan karena tak ada Sean. Gili paling sering menunjukkan rasa rindunya pada sang Mama dengan menangis, yang kemudian baru teredam ketika berhasil menatap wajah Sean di layar ponsel Ales.

Posisi Gili tengah bermanjaan diatas tubuh Ales saat itu, menyender nyaman di atas dada sang Papa dengan pipi yang tembam dan bibir manyun, persis sekali seperti Sean saat sedang bermanjaan. Ales mengelus kepala dan punggung Gili bergantian, membuat rasa nyaman yang menenangkan sang anak. Tak lama, sang anak mulai terdengar bersuara, akhir-akhir ini Gili memang sudah sering mengeluarkan suaranya yang masih belum jelas itu. Suara kecil itu seperti rengekan, seakan tengah bercerita sesuatu pada Ales.

Ales tersenyum, kemudian mengelus kembali kepala Gili. "Kangen Mamaocen ya, Bos?". Lelaki itu kemudian mengecup puncak kepala sang anak. "Sama, Papa juga. Gak ada Mamamu, bikin Papa susah tidur".

Sang anak nampak mengerti bahwa Papanya tengah mengajak berbicara, Gili kemudian mengangkat kepalanya dan menatap kearah sang Papa dan bergumam. "Mama.. Cen".

Ales sempat terbengong selama sejenak. "Eh? Apa itu barusan? Udah bisa panggil Mama, iya?". Sang Papa terlihat menyunggingkan cengirnya. "Waduh, coba ulang lagi.. Papa mau denger lagi".

Gili hanya menatap lucu, tercengir dan memamerkan beberapa gigi susunya yang masih didominasi gusi. Bayi lelaki itu kemudian menunjuk kearah rak bukunya dengan semangat. "Ca".

Ales otomatis menoleh kearah yang dimaksud, mencoba menerka isi kepala anak lelaki kesayangannya itu. "Apa? Buku? Mau dibacain buku, bos? Udah mau bobo emangnya?".

Gili merespon dengan anggukan, untuk anak yang usianya baru menyentuh satu setengah tahun, anak itu terbilang sangat responsif. Ales kemudian menuruti, menggendong anak semata wayangnya itu dan membawanya ke arah rak buku miliknya. Ales kemudian menatap sang anak yang langsung mengeksaminasi satu-persatu buku bacaannya. "Mau yang mana? Ambil coba yang mau dibacain".

Seakan mengerti, Gili menarik satu buku berjudul Pinokio dan memeluknya erat, membuat Ales tersenyum. "Mau yang itu? Yaudah, Papa bacain ya".

Kebiasaan membacakan dongeng itu memang sudah dimulai dari Gili berusia 6 bulan, dimulai dari Sean yang membiasakannya guna mendapatkan quality time dan juga kedekatan yang ia inginkan dengan Gili, terlebih ketika sang anak terlihat antusias mendengarkan sembari menatapi wajah Sean dan menyentuhnya berulang kali. Menurut Sean, tatapan Gili terasa seperti tatapan penuh cinta untuknya, membuat hatinya hangat dan berakhir mengulanginya hingga sekarang.

Ales lebih dulu menaruh Gili di kasur dan memberikan botol susu untuknya, kemudian lelaki itu ikut berbaring miring dan mulai membuka buku. Gili mulai memperhatikan dengan serius, alis kecilnya sampai bertaut dan membuat sang Papa tertawa.

"Serius amat sih mukanya, bos? Masih bayi kamu tuh, jangan serius-serius". Ucap Ales geli, kemudian melanjutkan dengan memulai bacaannya. "Papa mulai yaa, Gili dengerin.. Pada suatu hari..".

Gili memperhatikan sembari mengenyot botol susunya dengan semangat, mendengarkan tiap kata yang Ales ucapkan dan seakan memprosesnya. Di beberapa part, Gili sempat menyahuti dengan racauan tak jelas, membuat Ales berulang kali terkekeh dan mencubit pipi tembamnya. "Pantesan Mama rajin banget bacain dongeng buat kamu, ternyata lucu begini ya".

Sang anak kemudian berguling, kemudian menggeser posisi tidurnya sendiri hingga dapat melihat isi buku yang Ales bacakan dan mulai menunjuk objek per objek. "Pa.. Pa".

Ales mencoba memahami. "Papanya? Iya, ini Papanya Pinokio, namanya Gepetto".

Anak lelaki itu kemudian menunjuk Ales. "Papa.. Yes".

Sahutan itu membuat Ales melotot, bahkan bangkit dari posisi tidurnya secara tiba-tiba. "Heh?! Apa?!".

Pergerakan Ales yang tiba-tiba dan nada bicaranya yang tinggi membuat Gili tersentak dan terdiam, anak itu mulai mencebik pertanda sebentar lagi akan menangis kencang. Ales buru-buru menenangkan dan memeluk. "Eh, maaf.. Maaf. Enggak, Papa gak marah, kaget doang. Aduh, jantung Papa mau copot denger kamu panggil Papales. Maaf, Nak. Maafin Papa ya".

Sang anak kemudian mengkerut di pelukan Ales, seperti menahan airmatanya keluar dan hanya terseguk kecil. Di saat itu, Ales membubuhkan kecupan berulang di sekujur wajah dan kepala Gili, membuatnya pada akhirnya tertawa.

"Maaf ya, Papa kaget banget.. Kirain kamu baru bisa panggil Mama Ocen aja. Ternyata Papa juga bisa. Pinter banget anak Papa. Coba panggil lagi dong, Papales pengen denger lagi nih". Bujuk Ales pada Gili.

"Yes". Sahut Gili, menatap Ales dengan senyum lucu. "Ayes". Ulang Gili lagi, membuat mata Ales makin terbelalak bak mau copot.

Ales kemudian membawa Gili ke udara, menerbangkannya bak pesawat yang sering ia kemudikan, membuat sang anak tertawa sampai terbahak-bahak. "Pinter banget anak Papa! Astaga, jadi pengen punya satu lagi yang kayak kamu rasanya, Nak".

Sang bayi lelaki itu hanya terus tertawa, menikmati waktu berduaan dengan manusia yang seringkali menjadi saingannya dalam hal berbagi waktu dan kasih sayang orang tersayang mereka yaitu Sean. Namun, jika ditinggal berduaan begini, mereka bak dua manusia paling akur dan lucu, mencerminkan hubungan antara Ayah dan anak yang begitu menggemaskan.

———

Waktu kepulangan Sean akhirnya tiba, Ales sampai mengorbankan hari cutinya demi menjemput sang gadis. Sudah genap 4 minggu sejak mereka terakhir bertemu, membuat seluruh rasa rindunya bertumpuk tak terkira dengan perempuan mungil yang mengajarkannya cinta dan berakhir memberinya cinta tanpa henti.

Kali ini, Gili ikut menemani proses penjemputan itu, dengan duduk di carseat dan mengenyot dot, anak itu terlihat sibuk main sendiri dengan mainan pesawat yang sang Papa belikan. Ales berulang kali mengecek arlojinya, menyayangkan karena tidak bisa ikut turun ke airport karena akan berbahaya baginya menghadapi kepungan media dan fans Sean dengan membawa serta Gili.

Pesan dari sang istri yang menginfokan bahwa pesawat yang ia tumpangi baru saja landing, membuat jantung Ales berdebar karena tak sabar ingin bertemu. Mereka berjanjian di salah satu sudut parkiran yang sudah dipastikan clear dari massa dan penuh penjagaan di sekitarannya. Ales melongok berulang kali, menanti mobil alphard hitam milik agency Sean yang biasa membawa sang gadis.

Tak berapa lama, mobil hitam itu terlihat, membuat Ales otomatis turun dari mobil dan menunggu di samping mobil miliknya. Sosok cantik itu akhirnya turun, dengan masih mengenakan baju hangat dan juga heels yang ia pakai sejak di Paris. Sean terlihat tak percaya, memandangi Ales selama beberapa detik sebelum memunculkan senyum di wajahnya. "Aku pulang, Capt".

Ales tidak lagi sanggup menahannya, rindu itu begitu memuncak. Lelaki itu lebih dulu menghampiri sang gadis dan memeluknya erat, menghirup aroma parfum khas milik Sean yang selalu membuatnya rindu. "Welcome home, My Oceana. I've missed you so freaking bad".

Sean hampir menangis rasanya, merasakan pelukan hangat itu lagi setelah beberapa lama, entahlah, terasa menyenangkan. "I've missed you a lot, too.. Galessano. Kamu gak tau gimana kangennya aku sama kamu dan Gili". Gadis itu kemudian seperti tersadar. "Oh, iya. Kamu jadi bawa Gili, Les?".

Ales menjawab, namun tak melepas pelukannya sedetik pun. "Jadi, ada dia di carseat kursi belakang".

Sean bergerak guna melepas pelukan Ales, rindu akan sang anak lelaki yang selalu menjadi pusat pikirannya selain Ales. "Ah, lepas dulu, Les.. Aku mau liat Gili. Kangen banget rasanya, mau peluk dan unyel-unyel".

Namun, Ales tak bergeming, malah semakin mengeratkan pelukannya. "Sebentar, jangan dilepas dulu pelukan saya. Biarin saya peluk kamu dulu sampe kangennya hilang. Sekali-kali biarin saya yang menang gitu, habis ini kan saya harus ngalah lagi sama Gili".

Sang gadis terkekeh mendengarnya. "Apa sih, kamu? Masa saingan sama anakmu sendiri? Dasar bayi besar".

"Biarin".

🤍🤍🤍

———

DEPARTURE TIME Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang