Chapter 36 - The Moment of Tenderness

2.8K 203 14
                                    

Entah apa yang lebih membahagiakan bagi Ales, melihat Sean tertidur di kasur bersamanya, atau fakta bahwa gadis itu pada akhirnya sudah memutuskan satu hal yang paling penting bagi hidupnya kini. Dengan melewati berbagai macam pertimbangan sebelumnya, gadisnya akhirnya memilih untuk mempublikasi hubungan mereka.

Saat ini, Ales dan Sean tengah bermalasan di kasur, dengan Ales yang menelungkupkan kepalanya diatas bantal dengan posisi tengkurap, dan Sean yang menyandarkan kepalanya di punggung Ales, membuat ukiran di punggung polos itu dengan ujung jemarinya pelan, membuat rasa nyaman menguar si batin sang lelaki.

"Kalo nanti kamu jadi dibenci sama dunia, gimana, Les?". Suara itu tiba-tiba saja memecah kesunyian mereka.

Ales yang pada mulanya terpejam, jadi membuka matanya, menatapi gadis itu dari posisinya yang sekarang. "Kenapa gitu mikirnya?".

Sean terdengar menghela nafas panjang, gadis itu terlihat memainkan cincin di jemarinya dengan. "Aku takut aja, nanti kamu jadi stress gara-gara nerima komentar orang-orang".

Ales terkekeh, terdengar begitu rendah di telinga Sean. "Kamu khawatirin saya? Gak perlu khawatirin saya, sayang. Yang harus dikhawatirin itu kamu. Mereka rasanya gak akan begitu peduli sama saya. Mereka pasti bakal cari kamu".

"Aku sih udah terbiasa dengan itu, Ales". Balas Sean lagi.

Ales kemudian meminta Sean untuk bangkit sebentar agar ia bisa berbalik dan kembali menepuk area perutnya agar Sean kembali berbaring disana. "Kamu itu sekarang harus mikirinnya bukan kamu aja, sayang. Tapi yang ada di perutmu. Jangan sampai terlalu banyak pikiran, apalagi stress. Kasian itu anak kita dari baru kebentuk ibunya udah banyak pikiran terus".

Sean mau tak mau tertawa mendengarnya. "Iya, kasian dia ya, Ales".

Ales terkekeh, memainkan rambut panjang Sean yang terurai disana. "Panggil dia siapa ya, sayang?".

"Namanya?". Tanya Sean, menoleh pada wajah tampan yang terngah tersenyum memandanginya.

"Iya, namanya. Kamu udah sempet mikirin belum?". Tanya Ales lagi, masih setia memainkan ujung rambut sang kekasih dan menyisir akar rambut Sean lembut.

Gadis itu terlihat berpikir sampai memanyunkan bibirnya. "Kalau dia laki-laki.. Aku sempet kepikiran.. Kalo kita kasih nama Vierio, gimana, Les?".

Ales mengerutkan keningnya. "Vierio? Bagus sih, darimana itu?".

"Gabungan nama Vier dan Gio..". Balas Sean lagi. Gadis itu tersenyum saat menjelaskan. "Nama dua orang paling baik yang pernah kita temuin, orang yang kita sayang. Supaya bisa terus kita kenang, Ales".

Ales nampak terkesima pada penuturan sang gadis. "That's beautiful. You really do have a beautiful mind, Oceana".

"So? What do you say?". Tanya Sean balik.

Ales mengangguk. "Bagus. Saya suka. Tapi saya juga punya ide".

Wajah Sean berubah penasaran. "Apa, Ales?".

"Waktu itu saya pernah jalan-jalan ke satu pulau, waktu lagi galauin kamu. Waktu saya udah pindah kesini tapi kita belum balikan. Pulau Gili Air namanya, di Lombok. Tempatnya bagus sekali, benar-benar indah, Oceana. Dan disana, yang seharusnya saya pikir saya bisa lupain kamu, ternyata nggak. Ternyata saya malah makin inget. Pulau yang tadinya indah jadi buruk rasanya saat itu". Ujar Ales berceloteh.

Disisi lain, Sean mendengarkan dengan raut serius. "Terus?".

"Saya kepikiran buat namain anak kita Gili, karena saya ada rasa trauma dengan pulau itu. Gara-gara kepikiran kamu. Rasanya, kalau nama itu dijadikan nama anak kita, jadinya saya gak punya alasan lagi untuk membenci pulau seindah itu, dan harusnya memori buruk itu bisa kehapus. Gimana menurut kamu?". Lanjut Ales bertanya.

DEPARTURE TIME Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang