"Gak mau, El. Tolak aja. Gue gak mau kalo lokasinya disana". Ucap Sean pada El, keduanya kini tengah berada di perjalanan menuju ke agency tempat Sean bernaung.
El menghela nafasnya. "Gue ngerti, Sean. Tapi ini opportunity besar buat lo. Ini project film yang diadaptasi dari novel besar. Lo kebayang gak impactnya? Even public is eager to see you back on a movie screen. Lo inget gak terakhir kali lo main film? 2 tahun lalu, Sean. Udah lama banget, lo juga bilang lo kangen main film lagi kan?".
"But I hate Paris, El. Lo tau itu, gue takut. Kalo lokasi shootingnya bukan Paris, gue pasti mengiyakan. Paris has such a horrible memory for me. Gue terakhir kali ke Paris buat jemput Vier yang udah gak bernyawa, El. Kalo aja lo lupa". Balas Sean dengan nada tercekat.
El berakhir terdiam. Lelaki itu tidak bisa lagi memerangi, perkara trauma yang dimiliki Sean memang sangat sensitif. Ia mengerti, Paris memang membawa luka tersendiri bagi sang artis, terlebih El sendiri ialah saksi hidup dari kehancuran Sean kala itu. Sang manager berakhir menutup laptopnya. "Okay, gue ngerti. Tapi pihak PH kasih lo waktu mikir sampai akhir bulan ini, 24 hari dari sekarang. Gue gak akan jawab apapun ke mereka sampai waktunya datang. Just in case you want to do it, bilang ke gue".
Sean gantian terdiam. Pikirannya berkecamuk bukan main. Hari ini adalah harinya ia beraktivitas di kantor agencynya, melakukan meeting bulanan dengan para pengurus management, dan berakhir dengan evaluasi bulanan dari para petinggi agency. Seharian ini juga, Sean lebih banyak termenung, memikirkan perihal percakapannya dengan El pagi hari tadi. Tak bisa dipungkiri, Sean memang sangat merindukan kegiatan berakting didepan kamera. Pemotretan dan sesi iklan yang sudah sehari-hari ia lakukan, tak mampu mengobati rasa rindunya dalam bermain peran. Tapi disisi lain, lokasi shooting dari judul film yang mengambil kota Paris, membuatnya begidik.
Mengingat kota itu saja bagai mimpi buruk baginya. Yang terkenang dari negara yang dikenal oleh dunia sebagai negara romantis itu hanyalah gumpalan kesedihan, yang berbalut dengan kehilangan. Sean bahkan masih bisa mengingat betapa dinginnya tubuh Vier di ujung jemarinya saat mengenang soal Paris. Gadis itu bersumpah, walau ribuan kali ia mencoba melupakan, pengalaman buruk itu masih terasa terlalu nyata untuknya.
Kemelut itu terus berlangsung bahkan sampai Sean kembali ke rumah Ales di Jakarta. Sejak kemarin, Sean dan Ales membawa Gili ke Jakarta untuk keperluan pekerjaan Sean, sekaligus membawa anak semata wayangnya itu bergantian berkunjung ke rumah Ales dan Sean secara bergantian untuk menjenguk kedua belah orang tua mereka. Ketiganya memilih tinggal di rumah orangtua Ales untuk beberapa hari, mengingat rumah itu begitu sepi semenjak sepeninggalan Ales ke Bali.
Sesampainya di kediaman keluarga Ales yang megah itu, Sean terlihat celingukan mencari sosok sang suami dan anak lelakinya yang tak nampak terlihat. Rumah itu terlihat begitu sepi, tidak terdengar suara obrolan dari dalamnya. Sean berakhir menemukan sang suami di dapur, tengah mengaduk gelas kopi miliknya sendiri dan langsung tersenyum saat menemukan Sean disana. "Istri saya udah pulang? Tumben masih sore begini udah pulang, meeting sama evaluasinya selesai lebih cepet?".
Sean hanya mengangguk lemah. "Gili mana?".
"Lagi diajak pergi ke supermarket sama Mama, pinjem bentar katanya". Balas Ales. Sean hanya terlihat menarik nafasnya, sebelum bergerak mendekat kearah Ales yang sudah lebih dulu merentangkan tangannya dalam gestur menunggu Sean masuk ke pelukannya. "Kok murung gitu mukanya? Sini, peluk dulu, sayang".
Tanpa berbicara, Sean langsung masuk kedalam pelukan sang lelaki dan memejamkan matanya, merasakan hangat langsung menjalar di hatinya yang tengah gusar. Gadis itu merasakan kecupan Ales mendarat di keningnya lama, sebelum suara baritone itu menyapanya kembali. "Kamu kenapa, Oceana? Kok diem gini? Ada masalah?".
Sean mendongakkan kepalanya. "Aku mau dipeluk terus sama kamu, boleh gak? Pelukan kamu bikin tenang rasanya, Les".
Ales tersenyum mendengarnya. "Boleh, tapi cerita dulu.. Kenapa istri saya yang biasanya riang dan cerewet jadi diem begini?".
Sean memanyunkan bibirnya. "Aku gak cerewet". Gadis itu kemudian kembali melesakkan dirinya didalam pelukan Ales, menghirup aroma harum sang lelaki yang nampaknya baru saja mandi. "Aku bingung, Les..".
Ales menyisirkan jemarinya di rambut sang gadis, membuat nyaman terus menjalar di tubuh Sean yang tengah gusar bukan main. "Bingung kenapa? Coba ceritain ke saya pelan-pelan. Siapa tau saya bisa bantu, sayang".
Sean mulai berceloteh. "Aku dapet tawarin main film lagi, Les..".
"Oh, ya? Bagus dong. Kamu kan nunggu-nunggu tawaran ini? Apa yang bikin kamu bingung?". Tanya Ales, sembari terus menyusurkan jemarinya di sekitaran ikal panjang milik Sean.
"Tapi lokasinya di Paris, Ales..". Balas Sean lemah. Suaranya begitu pelan, nyaris tak terdengar.
Ales mengerutkan keningnya. "Memang kenapa kalo di Paris? Kamu takut susah bawa Gili, ya?".
Sean menggeleng lemah, sebelum melepas pelukannya guna menatap Ales lebih baik. Netra itu menyiratkan luka, yang entah bagaimana muncul kembali setelah sekian lama tak pernah Ales saksikan. "Paris kan punya kenangan buruk buatku, Les..". Gadis itu berhenti sejenak sebelum melanjutkan. "Terakhir aku ke Paris, itu untuk jemput Vier".
Ales baru menyadari maksud Sean, lelaki itu kini mengerti mengapa guratan luka kembali muncul di netra cokelat milik istrinya. Ales terdiam, belum mampu menentukan respon untuk sang gadis. Terlebih, saat tubuh Sean bergetar tanpa sadar. "Aku takut. Aku benci Paris. Aku gak suka kenangan yang aku punya disana. Aku bahkan gak bisa ngebayangin gimana caranya nginjekin kaki disana lagi tanpa keinget hari itu".
"Kapan kamu harus kasih keputusannya?". Tanya Ales.
"Akhir bulan ini, Ales". Jawab Sean.
Sang pilot kini menyapukan ibu jarinya di pipi sang istri, memberinya sentuhan sehalus kapas penuh rasa cinta. "Oceana, sayang saya. Cantik saya satu-satunya. Boleh saya bantu kamu soal itu?".
Sean mengerutkan keningnya hingga alis itu bertaut. "Bantu apa, Les?".
Ales lebih dulu mengecup bibir sang gadis, kemudian melanjutkan afeksinya di pipi kemerahan milik Sean. "Boleh saya bantu kamu, menghapus memori burukmu soal Paris?". Ales kembali menundukkan kepalanya guna mengecup bibir Sean sebelum melanjutkan. "Saya mau lakuin apa yang kamu prrnah lakuin ke saya. Kamu inget?".
Sean terlihat keheranan sebelum menggeleng. "Inget apa maksudnya?".
"Waktu itu, waktu kamu temenin saya kerja dan kita ke Seoul". Tutur Ales lembut. "Waktu itu saya pernah bilang kan? Kalo saya punya memori buruk soal negara itu dulu, dan waktu kita kesana, saya buat memori baru dengan kamu. Yang akhirnya bikin Seoul jadi indah lagi buat saya sekarang".
Sean terlihat mendengarkan dengan seksama sebelum bertanya. "Maksudnya kamu temenin aku shooting ke Paris, gitu, Ales?".
Ales menggeleng pelan. "Bukan, sayang. Itu bisa nanti. Yang saya mau, kita ke Paris berdua dulu. Masih ada waktu kan? Biar saya ajak kamu ke Paris, dan kita buat kenangan baru disana. Kenangan kamu sama saya, supaya kenangan burukmu itu bisa tergantikan".
Sean terdiam, mencoba mencerna permintaan sang suami dalam diam.
"Kamu pernah lakuin itu ke saya dulu, dengan mudah kamu bisa menghapus memori buruk saya. Jadi seharusnya, saya, Galessano Pradikta, suami kamu yang banyak kurangnya ini, juga bisa lakuin yang sama dengan yang kamu lakuin dulu". Sambung Ales lagi.
Ales berakhir mengecup kedua mata Sean yang terpejam. "You ever told me that I'm your medicine, right, Oceana? So, let me be one. Sekarang saatnya saya obati kamu, sayang. Izinin saya".
———
🤍
(Aku juga mau punya Ales dirumah 🥲🥲🥲🥲)
KAMU SEDANG MEMBACA
DEPARTURE TIME
RomanceSebuah lanjutan perjalanan cinta dari Ales, Captain Pilot penerbangan pesawat komersial ternama dan Oceana, artis kelas dunia mempertahankan cinta mereka. Ditengah cinta yang hampir berlabuh, selalu ada cobaan yang menanti. Entah cobaan itu berasal...