Ales terbangun dengan rasa nyeri di pergelangan tangannya, tanpa sadar lelaki itu memijat sebelah pelan, dan terkesiap saat membawa pergelangan tangan itu kedepan matanya. Bekas kemerahan itu melingkar disana, membentuk sebuah cetakan dalam yang membekas.
Tunggu, semalam itu berarti dia tidak bermimpi?
Ales kira, Sean yang tadi malam itu hanya mimpi panasnya. Tapi, melihat bukti kemerahan itu di tangan, rasanya ia jadi menyadari satu hal.
Semalam itu benar terjadi.
Kalau begitu, pembicaraan soal Rea semalam, itu juga benar terjadi?
Ales melihat kesekeliling kasur Sean yang kosong, beberapa bercak basah makin mendukung hipotesisnya kalau kejadian semalam itu bukan hanya salah satu mimpi panasnya.
Sial. Semalam ia sampai menangis.
Bagaimana nanti reaksi Sean padanya? Mengingat lelaki yang merupakan kekasihnya sendiri masih menangisi gadis dari masa lalunya. Ales merutukki dirinya sendiri, ia bahkan tak menyadari saat Sean masuk kedalam kamar dan memperhatikan pilot yang tengah komat-kamit sendiri itu.
"Sayang?". Panggil Sean, gadis itu tersenyum dan menghampiri Ales untuk duduk disebelahnya.
Ales sontak terkejut, apalagi melihat wajah cerah Sean yang seperti tidak terpengaruh dengan kejadian semalam. Bukan, bukan kejadian menghukumnya, namun kejadian perihal racauannya akan Rea.
Sean memperhatikan tangan Ales yang masih memegangi pergelangan tangan lelaki itu sendiri. "Sakit banget ya, Ales?".
Ales nampaknya tak menyadari maksud Sean sampai ia mengikuti arah mata gadis itu. "Oh, enggak. Gak apa-apa". Ales membenarkan posisi duduknya agar menghadap kearah Sean. "Kamu.. Gak apa-apa?".
"Emang aku kenapa?". Tanya Sean balik.
Ales nampaknya kikuk, lelaki itu kehilangan kata. "Itu.. Kamu.. Gak apa-apa? Kemarin saya nangis ya?".
Sean memilih tersenyum hangat. "Iya, kamu nangis". Gadis itu kemudian mengambil pergelangan tangan Ales yang masih merah. "Aku obatin ya, sebentar".
Ales hanya mampu menanti dalam diam, lelaki itu menundukkan kepalanya, merasa bersalah karena telah berlaku ceroboh dengan minum hampir sebotol full alkohol dan berakhir menangis sejadi-jadinya dihadapan kekasihnya sendiri. Sean kembali kedalam kamar dengan membawa 2 kotak kecil salep, duduk, dan mulai mengoleskan satu-persatu ke kulit Ales.
"Maaf ya, jadi berbekas gini, Les". Ucap Sean lembut, mengoleskan dengan hati-hati.
Ales menggeleng. "Saya gak apa-apa, Oceana. Saya yang harusnya.. Minta maaf sama kamu".
Sean menimbulkan senyumnya. "Aku gak marah, sayang. Sama sekali nggak. Aku cuma.. Kecewa aja sedikit, karena baru tahu ini sekarang".
Rahang Ales mengeras, ia takut. Takut sekali, kalau hal ini akan melunturkan percaya yang Sean punya padanya. "Saya akui saya salah, Oceana. Maafin saya".
Kali ini, Sean menggelengkan kepalanya. "Nggak, Ales. Aku justru berterimakasih sama kamu, karena udah omongin semuanya dengan jujur tanpa nutupin sedikitpun. Makasih ya".
Selanjutnya, gadis itu mengangkat pergelangan tangan dan meniupnya pelan, tak lupa mengakhiri dengan kecupan di punggung tangan lelaki itu. "Yang selalu aku kagumi dari kamu adalah betapa baiknya kamu dalam berkomunikasi, Ales. Betapa dewasanya kamu dalam mengkomunikasikan sesuatu ke pasanganmu, dan aku pun berusaha mencontoh itu".
Mata Ales tak lepas mengikuti pergerakan gadis di hadapannya. Gadis itu kembali tersenyum memandanginya. "Aku percaya sama kamu, Ales. Gak ada sedikitpun yang aku ragukan. Tapi, aku gak bisa bohong. Aku juga punya rasa khawatir". Sean menghela nafasnya yang sepertinya berat, meski terlihat tenang, nyatanya mungkin gadis itu sakit juga. "Aku perlu memastikan dari kamu. Apa masih ada perasaanmu yang tertinggal buat dia, Ales?".
KAMU SEDANG MEMBACA
DEPARTURE TIME
RomanceSebuah lanjutan perjalanan cinta dari Ales, Captain Pilot penerbangan pesawat komersial ternama dan Oceana, artis kelas dunia mempertahankan cinta mereka. Ditengah cinta yang hampir berlabuh, selalu ada cobaan yang menanti. Entah cobaan itu berasal...