02. Cici, Cici, and Surabaya

857 59 2
                                    

Ada satu hal yang sudah Arina Mei Lan siapkan begitu namanya terpampang nyata masuk ke deretan XI-IPA5..., kesabaran. Gadis berdarah Chinese dengan wajah bak pahatan Berbie hidup itu sudah cukup tau bagaimana ia kerap diperlakukan oleh cowok-cowok tak beradap yang mungkin tidak memiliki keluarga cukup baik untuk mengajarkan mereka bagaimana caranya menghargai perempuan. Kepalanya memang hampir ingin pecah begitu tau XI-IPA5 diisi oleh sebagian besar cowok, tapi selama liburan ini, gadis itu yakin kemampuan sarkas dan bela dirinya telah jauh meningkat pesan.

”Wah, jalan sendirian aja nih cewek cantik.”

Kaki ramping Arina yang baru saja menginjak tangga terakhir untuk naik ke kelas XI-IPA5 hampir saja mengarah ke belakang, menendang siapapun yang mengatakan kalimat tersebut. Tapi mengingat kembali ini hari pertamanya dan tidak mungkin ia membuat masalah, Arina hanya melirik tajam dan sinis. Tiga cowok di belakang tubuhnya sama-sama terpana, tanpa sadar ikut tak berkutik mengikuti gerak tubuh Arina yang berhenti.

”Serem, Rin, coba merem,” celetuk cowok paling mungil di antara ketiganya, ”kayak pemain film horor deh lo.”

”Lo, lo, sama lo.” Tubuh Arina berputar menghadap tiga cowok yang memang sebelumnya sudah ia kenal karena tetangga kelas di bawah dengan sempurna, jarinya maju menunjuk Haikal Chandra, Rendra Arsaneo, dan Nathan Abian Prayoga bergantian secara tak bersahabat. ”Gak usah sok kenal gue apalagi cat calling kayak tadi.”

”Dih, ngartis lo?” cibir Haikal tak mau kalah, ikut mendelik dan memandang Arina tak santai. ”Maju sini, lawan Nathan kalau berani.”

Satu-satunya pemuda yang sejak tadi diam jadi berdecak tak santai. ”Mundur, Rin! Lo blokir jalan,” ujarnya santai.

”WOI MINGGIR DONG! BERASA TANGGA MILIK NENEK MOYANG PRIBADI AJA!”

Belum sempat Arina mundur, suara cempreng dengan nada tinggi menyakitkan telinga membuat Haikal, Rendra, juga Nathan mengumpat tanpa sadar karena sumber bunyi tepat ada di belakang indra pendengaran mereka. Haikal tanpa kata naik, mengambil tempat di sisi Arina masih dengan sumpah serapah tak jelas. Rendra sempat menoleh, melirik sinis sebelum akhirnya mengalah dengan mengikuti langkah Haikal.

”Nah gitu dong, kan enak orang mau lewat,” ujar cewek dengan kulit seputih susu itu tanpa rasa bersalah, rambut panjangnya yang tergerai dikibaskan ke sisi kiri sengaja mengenai Nathan yang masih merapat ke pagar tangga.

”Oi, Rin!” sapa gadis itu jadi lebih bersahabat. ”Oh iya, lo kelas sini juga ya.”

”Lo kelas sini, Cha?” tanya Arina ikut sok akrab atau sejujurnya mereka memang akrab sebagai tetangga rumah, tapi belum pernah akrab sebagai teman.

”Hohoh.”

Chacha Callie Cristy, gadis kedua yang memiliki darah Chinese di kelas XI-IPA5. Kulitnya putih, benar-benar putih, dengan rambut hitam legam bergelombang mencapai punggung. Chacha memiliki wajah agak bulat dengan mata lumayan sipit, bibirnya tipis, dan hidung yang lumayan mancung. Bisa dibilang, gadis itu adalah gambaran Cici Cici sejati karena dari sekali lihat saja orang-orang akan sadar kalau Chacha adalah keturunan China.

”Masuk yuk masuk!” ajak Chacha heboh, menarik lengan Arina bersemangat.

Belum sempat bubar, muncul lagi satu perempuan dengan rambut lurus di bawah bahu yang berjalan santai menaiki satu persatu tangga. Berbeda dengan kesan Chacha yang China banget, gadis itu justru menampakkan aura Indonesia banget dengan mata lebar, bibir agak tebal yang tampak sangat pas untuk proporsi wajah oval gadis itu, dan aura percaya diri luar biasa. Wajah gadis itu tampak tak asing karena sempat beberapa kali tampil untuk modern dance di setiap acara sekolah, Chaerra Karinda.

Win CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang