04. Pemilihan Budak Kelas

497 49 4
                                    

"Sebelum pemilihan struktur kelas, saya mau sedikit mengubah formasi duduk."

Sudah tidak dapat diragukan lagi jika memang wali kelas XI-IPA5 memiliki frekuensi berbeda dengan frekuensi yang dihantarkan oleh kebanyakan penghuni kelas. Terbukti dari sikap awal yang guru muda itu tunjukkan dan kini ia juga mengacuhkan candaan murid-murid IPA5 dengan mengalihkan pembicaraan. Kali ini mata Pak Teo yang memiliki hiasan bekas luka berbentuk bunga abstrak di bawah salah satu sisinya sedikit naik mengamati bagian bangku belakang.

"Yuda," panggilnya sembari menatap kertas berisi informasi bangku dan nama penghuni yang tadi sempat dicatat, "tuker sama Senya, ya. Kasian dia tenggelem di belakang kamu."

Padahal Senya masih memiliki tinggi 158 cm, walau menjadi yang paling pendek dan siswi tertinggi secara fisik ialah Chaerra dengan 165 cm. Berbeda dengan cewek-cewek lain di kelas yang memiliki tinggi rata-rata 162-163, kedua siswa yang memiliki perawakan galak itu menjadi yang lebih pendek dan lebih tinggi di antara yang lain. Tapi memang jika dibandingkan dengan anak-anak cowok kelas yang memiliki tinggi 170 cm lebih, kecuali Hadi karena hanya memiliki tinggi 169 cm, cewek-cewek di sini tampak mungil. Bukan karena mereka pendek, tapi karena memang penghuni kelas ini penuh dengan raksasa. Rendra yang tampak mungil saja jika dilihat secara lebih teliti masih mencapai di angka 173 cm.

"Arina maju ke depan, biar Jeiden yang ke belakang," komando Pak Tio melanjutkan.

"Xafier aja Pak yang mundur, nanti saya dibangkunya Xafier." Jeiden berusaha menawar, tetap ingin depan belakang dengan Arina.

"Penampilan kamu gak enak dipandang guru, mundur! Xafier tetap di tengah."

Xafier bersorak rusuh tepat di kuping Jeiden puas sedangkan si empu hanya berdecak tak santai menghempas bahu pemuda berwajah polos itu keras. Arina ikut bangkit tanpa banyak berkomentar, hanya menggerutu kecil karena sebenarnya memang tak begitu menyukai berada di bangku depan. Gadis Chinese itu sadar ia tak terlalu pintar dan suka terjebak pada dunianya sendiri.

"Yang namanya Elia ada dua ya? Yang paling belakang itu panggilannya apa?"

"Eli, Pak," cicit suara kecil itu pelan.

Seluruh mata tanpa terkecuali menoleh ke belakang dengan mulut tertutup sempurna sehingga suara gadis dengan rambut berhiaskan bandana pita navy itu dapat terdengar lebih jelas. Lia dengan nama yang sama juga baru menotice kehadiran Eli di belakang padahal gadis itu terbilang jadi perempuan dengan tinggi hampir sejajar dengan Chaerra? Hampir mencapai 165 cm. Selain karena tak duduk di belakang, sosok Eli juga tak banyak menyeletuk seperti Soni atau Haikal di sisinya. Kok bisa cewek itu gak risih?

Soni menggeser bangku, menoel lengan Eli pelan. "Ngomong lagi, El. Pak Teo gak denger," bisik cowok itu.

"ELI, PAK!"

"Buset, dah. Lo sekalinya ada tenaga kuat banget," ujar Haikal di sisi kanan terkejut setengah mati, "bagus-bagus El, lain kali ikut gue paduan suara."

Chaerra dan Lia tanpa sadar menipiskan bibir sebelum akhirnya kembali menoleh ke depan, fokus pada Pak Teo yang menggeleng kecil. Eli melotot dengan wajah lucunya pada Haikal dan Soni bergantian. Namun sedetik berikutnya jadi menutup wajah dengan kedua tangan malu sendiri.

"Eli maju ke depan, biar Yoga ke belakang," lanjut Pak Teo memberikan arahan yang segera dituruti keduanya tanpa protes, "buat barisan di depan saya cukup ya, udah tepat."

Chacha bersorak riang, membalikkan tubuh ke belakang untuk bertos ria dengan Lia yang langsung menerima dan ikut berseru heboh. Padahal jika Chacha ingat ulang, Lia mengambil bangku di belakangnya hanya karena sisa dan tidak ada yang ingin mengambil bagian deret guru. Namun keduanya langsung bisa satu frekuensi begitu berkenalan dan saling mengatai Hessa serta Soni.

Win CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang