58. Boys Time edisi 2

192 49 23
                                    

”Nat, coba lihat.” Hessa menyodorkan ponsel, menunjukkan jaket hitam dengan motif bunga mawar abstrak pada salah satu sisinya. ”Bikin geng motor yuk, namanya Rose Boy.”

”Ajak Pak Teo jangan lupa, sekalian bikin perkumpulan cowok penyuka cewek mawar,” balas Haikal mendorong kecil bahu Hessa agar menjauh dari Nathan, ”heran gue sama lo, bawa pengaruh muluk ke temen gue.”

”Gue sukanya cewek peri,” sahut Rendra ikut-ikutan tanpa menoleh, ”kayak Arina contohnya.”

”Heran deh, Arina udah sama gue masih aja disebut-sebut namanya.” Kali ini Juna menyahut tenang dengan jari-jemari fokus pada layar ponsel. ”Apa perlu sekalian gue umumin pakek toa sekolah kalau Arina Mei Lan udah jadi ceweknya Arjuna Jawakarsa?”

”Kayak lo udah jadian aja,” cibir William.

Jeiden mengangguk setuju. ”Masih digantung aja gegayaan banget.”

”Bentar lagi jadian kalik, nunggu momen,” balas Juna menendang paha Jeiden dan William bergantian, ”enaknya ditembak di mana ya? Pakek konsep apa? Voting dong gaes.”

Rendra mengangkat tangan tinggi. ”Kalau gue setuju di jantung atau gak kepala sih, jadi sekali tembak bisa langsung ajal.”

”Anjing!” Jeiden mengumpat refleks, berniat melemparkan ponsel ke wajah bangsawan Rendra namun terurungkan ketika tatapan tajam Nathan terangkat padanya. ”Beda konsep tembak goblok.”

”Waktu malem promnight aja, kelar Gelar Seni,” usul Nathan serius, ”kemarin udah nyoba sama anak-anak dan pemandangannya emang jadi bagus banget pakek lampion.“

”Kalau menurut gue yang lebih modal dikit, beliin apa kek, cincin couple, kalung couple, gelang couple, pokoknya tuh yang menunjukkan kalau kalian punya ikatan.” Hessa ikut menyahut, memberikan usul yang selalu ia bayangkan jika memiliki hubungan dengan Lia.

Bukan hanya sekedar gelang couple, sticker couple, dan lain sebagainya yang memang kerap kali dimiliki oleh anak-anak PTM. Tapi benar-benar hanya dia dan Lia, dengan aksesoris saling melengkapi. Terkesan seperti anak kecil memang, tapi justru menurut Hessa hal itu punya arti yang dalam.

”Kalau kata gue yang mending cepet, kasian Arina perlu menelin yang lain kalau masih harus nunggu,” kata Jeiden tenang, ”cewek tuh gak perlu hal ribet-ribet sebenarnya, cukup nunjukin kalau kita serius aja mereka udah iya-iya.”

”Itu mah khusus lo yang pakek pelet,” balas William tanpa beban, ”gue nembak Senya juga perlu hujan-hujanan nyamper dia ke rumah bawain boneka segede gaban biar bisa diterima. Anjir, berasa sakaratulmaut gue.”

Hessa dan Nathan saling pandang, mencerna kalimat William lagi dan lagi. Begitu pula Haikal dan Rendra yang sudah siap mengirimkan kode satu sama lain. Juna mendongakkan mata dari layar ponsel, memandang pemuda di hadapannya itu bingung. Tak berbeda jauh, Jeiden juga jadi menggerakkan kepala menoleh panik.

”Lo ngomong apa?” tanya Hessa takut salah dengar.

”Berasa sakaratulmaut,” jawab William  seadanya, masih fokus pada layar ponsel.

”Sebelum itu.”

”Bawain boneka segeda gaban sambil hujan-hujanan buat nembak-” Seolah baru sadar, pemuda itu refleks menghentikkan bibirnya yang berhasil dipancing Hessa. Perlahan, William mengangkat wajahnya, memandang satu persatu wajah di kamar luas ini. ”Senya,” lanjut cowok itu merasa tanggung.

Sorakan langsung terdengar heboh, terutama dari Haikal dan Rendra yang sudah biasa merusuh di rumah ini bersama Jeno. Jeiden menutup kuping, begitupula Nathan yang berada tepat di sisi Haikal. Hessa dan Juna hanya ikut-ikutan bersorak pelan dengan kekehan kecil.

Win CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang