08. Sedikit Cerita tentang Hessa dan Lia

404 60 14
                                    

Hessa Komplek

Gue udah di depan.

Lia mengernyit heran memandang notifikasi dari pop up ponselnya. Gadis dengan wajah V shape dan bibir mungil itu tak ingat pernah meminta untuk dijemput, terutama oleh Hessa. Perasaan tidak menyenangkan muncul secara alami membuat helaan nafas terdengar. Apa lagi yang cowok itu inginkan darinya?

"Oke, sampai sini apakah ada yang ingin ditanyakan?"

Suara Bu Ayu mendominasi pertemuan malam ini yang membahas beberapa materi Kimia. Seperti malam-malam sebelumnya, hanya ada nuansa hening menghiasi kelas. Rata-rata penghuni di sini punya keseriusan tinggi untuk menerima pembelajaran daripada harus bersuara bising yang dapat menganggu orang lain. Selain itu, tipikal pembelajaran mandiri secara tak kasat mata telah menjadi sistem proses belajar mengajar sehingga tidak akan muncul pertanyaan tambahan terutama pada jam pulang karena akan menghambat waktu pelajar lain. Kebanyakan siswa akan secara mandiri meminta pembelajaran tambahan untuk materi yang tidak dipahami sehingga ketika ada kelas bersama mereka tidak menganggu keberlangsungan proses pembelajaran untuk satu sama lain.

"Saya rasa tidak ada," lanjut Bu Ayu melirik arloji pada tangan kirinya, "untuk minggu depan, saya harap kalian telah menyelesaikan lembar soal yang saya berikan. Sekian, terima kasih."

Baru saja bersorak dalam hari, getaran membuat mata lebar Lia kembali melirik pada layar ponsel. Mendapati nomor Hessa masih terpampang pada notifikasi paling atas dengan sebuah pesan baru. Gadis dengan hoodie crop oversized biru tua dan joger pants berwarna hitam itu memutar bola mata malas, mengetikkan balasan singkat untuk teman sepermainannya.

Hessa Komplek

Gue tau kaki lo pendek tapi bisa cepet gak jalannya?

Hessa Komplek

Gue pegel nungguin nih.

Lia

Gak ada yang minta lo nungguin.

Lia mematikan layar ponsel dengan gerakan cepat, mengemasi seluruh buku di mejanya ke dalam tas ransel serut dengan motif daun berbagai warna. Gadis itu tersenyum dan menganggukkan kepala pelan pada beberapa teman bimbel yang menyapanya sembari pamit untuk keluar kelas lebih dulu. Ia tak bisa keluar dengan sesuka hati karena ada satu hal yang perlu dipersiapkan sebelum bertemu Hessa... kepala dingin.

Bibir mungil Lia tertarik membentuk senyuman tipis begitu kakinya mulai melangkah dari gedung LH Bimbel. Beberapa kali gadis itu menarik nafas panjang dan menghembuskan secara perlahan. Tak sulit bagi mata lebar Lia untuk menemukan motor besar Hessa yang terkadang berhasil memancing beberapa pandang mata karena image 'keren' yang ditimbulkan motor mahal dam elegant dengan warna hitam tersebut.

"Lo suka banget sih sama belajar."

Baru saja berjarak 300 meter dari tempat cowok itu duduk di atas motornya, kuping Lia sudah menangkap cibiran. Hessa dengan segala tingkah tengil dan mulut lemesnya. Cowok tampan yang malam ini mengenakan kemeja putih bergaris dengan dalaman hitam, celana panjang hitam, dan jangan lupakan aksesoris kalung salib serta gelang tali hitam itu mengulurkan helm berwarna biru langit.

"Mau ke mana?" tanya Lia masih tak bergeming, mengabaikan helm yang coba Hessa berikan.

"Pom bensin."

Sebelah alis Lia yang tak terlalu tebal terangkat heran. "Ngapain lo perlu nunggu di sini kalau cuman mau ke pom?"

Hessa menoleh malas. Cowok dengan vitur maskulin itu tampak membuang pandangan terlebih dahulu sebelum turun dari motornya untuk berdiri di hadapan Lia. Mata tajam Hessa bahkan sempat menoleh kanan-kiri memastikan keadaan terlebih dahulu sebelum membuka bibir tebalnya.

Win CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang