35. First Love in 90 Days

235 48 9
                                    

Penelitian menemukan bahwa hanya butuh 90 detik sampai 4 menit rata-rata untuk membuat seseorang jatuh cinta pada orang yang ditemuinya pertama kali. Tapi bagi Chacha Callie Cristy, ia butuh waktu sampai 90 hari untuk benar-benar bisa menyimpulkan bahwa ia jatuh cinta pada sosok pemuda dengan garis wajah bangsawan sejak pertama kali keduanya bertemu. Sejak tadi gadis dengan rambut panjang itu bahkan hanya memfokuskan pandangannya pada kertas dengan gambaran wajahnya sendiri yang dipoles menggunakan teknik dusel.

”Kayaknya... gue jatuh cinta.”

Lia dengan pandangan fokus ke layar laptop dan jari jemari mengetikkan materi untuk makalah tugas mereka sore ini memutar mata malas, menatap gadis seputih susu di hadapannya tak minat. ”Lo sekali lagi bilang kayak gitu gue usir, serius.“

”Enggak, Ya, kali ini gue beneran.” Chacha membenarkan duduknya di atas ranjang, memandang Lia sepenuhnya. ”Sumpah demi Pak Teo biar segera menikahi pacarnya dengan cepat.”

”Jangan bilang Nathan! Jangan bilang Yoga! Jangan bilang Pak Teo!”

”Enggak, yang lain.”

Pandangan Lia naik, sedikit tertarik. ”Siapa?”

Helaaan nafas panjang Chacha terdengar berat, gadis itu lebih dulu menyahut Florida yang sempat ia beli di minimarket sebelum ke sini. Kedua tangan Chacha naik memberikan isyarat untuk membiarkan ia mengambil waktunya sendiri terlebih dahulu. Belum sampai di sana, gadis Chinese dengan mata sipit itu terlebih dahulu membahasi bibir atasnya dengan anggukan menyakinkan diri sendiri.

”Rendra,” cicitnya pelan.

Kelopak mata Lia melebar dengan bibir menganga terkejut sepenuhnya, melupakan tugas makalah yang tengah digarap oleh tangannya. Gadis dengan piyama tidur motif bunga warna-warni itu jadi menoleh cepat ke kertas yang sejak tadi dipegangi oleh Chacha. Tangan Lia yang semula berfungsi untuk menutup mulut maju, menunjuk gambar di hadapan Cahcha tak santai.

”Jangan bilang gara-gara ini!”

Ekpresi wajah Chacha ikut putus asa dengan anggukan. ”Gara-gara ini.”

”Cha,” panggil Lia masih dengan ekspresi tak habis pikir, ”please bukan lo doang yang dikasih kertas kayak gini! Gue juga, Eli juga, Arina juga, Senya juga, Chaerra juga! Emang tugas anak lukis gambar muka manusia makannya Rendra ngambil gambar kita biar gampang karena tiap hari ketemu.”

”Iya, tapi-” Chacha menghentikan kalimatnya, merasa tak habis pikir juga dengan dirinya sendiri. ”Masalahnya gue tuh gampang suka sama orang.”

”Gampang lupanya juga kan,” kata Lia melanjutkan, ”ya udah deh gak usah dibahas, besok juga ilang.”

Chacha tiba-tiba menggeleng keras, ia memang membenarkan gampang menyukai seseorang, entah hanya dari wajah atau tingkah lakunya, tapi bukan tipikal suka yang menuju pada rasa cinta. Sedangkan kali ini? Ia bahkan tak tau dari mana ia harus menyukai Rendra. Pemuda itu tak ada tampan-maksudnya dibandingkan Nathan dan Yoga, tak punya aura yang dapat menarik Chacha seperti Pak Teo, atau hal lain. Rendra berbeda... menurutnya.

”Ya, gue gak mau,” jerit Chacha menggeleng keras, membayangkan jika perasaan aneh hanya gara-gara siang tadi Rendra memberikan hasil gambar pemuda itu dalam ekskul lukis berupa potret wajah Chacha.

”Gak mau apa?”

”Gimana kalau gue beneran suka sama Rendra?”

Lia menghela nafas panjang. ”Inget! Bukan cuman lo yang dikasih gambaran kayak gini, semua cewek di kelas juga dikasih! Lo gak istimewa, Cha. Inget gimana tengilnya Rendra setiap bareng Haikal! Inget kalau dia pernah bikin lo kesel berkali-kali karena selalu ikut-ikutan nyaut tiap pelajaran! Inget-”

Win CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang