"YOGA!!!"
Seorang pemuda putih yang sedang menidurkan kepalanya di atas meja sedikit melenguh. Membalikkan kepalanya mencoba tak memedulikan suara tersebut dan kembali tidur. Tas hitamnya menjadi tumpuan agar kerasnya meja tak menganggu ritual siangnya yang ia lewati siang tadi hari ini.
"WOI SASUKE! BANGUN DONG!"
"Ck, gue lebih suka Levi anjing ketimbang Sasuke," protes pemuda bernama Yoga itu pada akhirnya menegakkan tubuh, bersandar pada punggung kursi, "kenapa?"
"You are my Sasuke, and i am your Sakura," racau gadis dengan kulit seputih susu itu tak jelas, "anjir, gue kan Chinese," lanjutnya jadi bingung sendiri, "Sakura yang gak ke-Jepangan tuh ada gak sih Yog?"
"Lo bangunin gue cuman mau nanyain itu?" tanya Yoga jengah. Harusnya ia tau satu hal, gadis cerewet di hadapannya itu memang tak akan mengatakan hal penting melainkan hanya mengoceh tak jelas. "Gue mau tidur, Cha, mumpung Pak Joko belum masuk."
Chacha, gadis dengan name tag bertuliskan Chacha Callie Cristy itu mengerutkan bibirnya kesal karena mendapat pengusiran. Namun senyum gadis itu kembali mengembang ketika ketika seorang gadis dengan tinggi semampai dan rambut lurus panjang sepunggung mengetuk pintu kelas. Wajahnya berseri dengan mata berbinar.
Di kelas ini hanya tinggal ada Chacha dan Yoga, karena hanya keduanya yang tidak hukum karena tadi tidak berada di kelas ketika hampir sekelas ramai di jam pelajaran Pak Joko.
"Kenapa Rin?" tanya Chacha ramah sok akrab, khas gadis itu.
"Pak Joko mana?"
"Di lapangan, masih ngasih hukuman anak kelas buat bersihin daun di lapangan."
Gadis cantik di ambang pintu itu mengangguk. "Gue nitip bukunya ya, tadi ketinggalan di kelas gue."
"Oke, sip."
"Makasih," ucap Katharina sebelum seutuhnya menghilang.
Yoga yang masih menaruh wajahnya di atas meja, namun tadi ikut menoleh ke Katharina jadi sedikit heran melihat Chacha yang terlihat sumringah dan tenang. Alis tebal pemuda itu jadi sedikit terangkat heran.
"Lo suka Rina?"
"Anjing!"
Ceplosan polos Yoga membuat Chacha langsung mendelik diiringi umpatan kecil. Tapi seperti biasa, ekspresi wajah gadis itu kembali berubah antusias dan langsung duduk di meja depan bangku Yoga, siap membuka suara yang entah akan sepanjang apa nanti. Hal yang paling kuping Yoga benci.
"Lo tau gak sih mukanya Rina tuh bener-bener yang secantik itu? Kayak cantik banget gitu. Gimana ya, gue aja yang cewek suka banget ngeliatin muka dia. Kayak mewah tapi bukan yang mewah judes."
Setelah itu Yoga tak sungguh mendengarkan apa yang Chacha ceritakan. Lagipula hampir setiap hari ia melihat wajah Rina ketika bimbingan belajar atau di club bela diri dan ia rasa Rina tak ada bedanya dengan gadis lain. Gadis itu tetap gadis SMA biasa yang terkadang sibuk sendiri dengan make up dan masalah remaja lain, terkadang merengek seolah satu jerawat merupakan mala petaka, dan hal tidak penting lainnya yang padahal itu manusiawi.
Sejujurnya, Yoga tak terlalu akrab dengan Chacha, atau mungkin ia tak terlalu akrab dengan semua gadis di kelas ini. Tapi dasarnya sikap gadis di kelas ini yang sedikit bar-bar membuat pemuda itu cenderung bisa berinteraksi dengan baik tanpa merasa canggung. Seperti Chacha, Chaerra, Eli, Senya, Lia, atau bahkan si Visual SMA Garuda, Arina. Mereka berenam seperti memang ditakdirkan untuk menjadi kuat agar bisa menghadapi kelakuan cowok-cowok di sini. Satu hal yang sama tentang enam cewek itu, senggol bacok.
"Yog, lo tau gak-"
"Gak," jawab Yoga cepat sebelum Chacha kembali berucap panjang kali lebar, "lo gabut banget gak punya temen sampai caper ke gue?"
"Betul!" kata Chacha bersemangat, kembali berhasil memancing Yoga agar bicara. "Lo suka cewek yang Javanese atau Chinese?"
"Javanese tuh Jawa lho, Cha, bukan Jepang," sanggah Yoga yang tau maksud Caca, "minum Aqua dulu sana," usir pemuda itu untuk kedua kalinya.
"I-iya, maksud gue lo suka yang modelan Chaerra atau gue?" lanjut Caca terbata, pertanyaannya yang tadi tidak bermaksud untuk ini harus ia alihkan agar gadis ini tak terlalu memalukan, walau ia tau Yoga sudah paham maksudnya. "Ayooo dong Yog, lo kan ganteng tuh, standar lo pasti masuk ke semua cowok."
"Standar apaan?"
"Standar cewek cantik."
"Sebenernya nih, Cha," ujar Yoga mulai serius, "standar cantik gue yang tipikal Rina," bisik pemuda itu pelan yang membuatnya langsung pendapat tamparan pada lengannya dari Chacha.
Tawa Yoga pecah, berhasil mengerjai gadis itu. Berbeda dengan Chacha yang kali ini menunjukkan wajah sebalnya. Matanya yang sipit bahkan kini semakin hilang karena berusaha menatap tajam ke arah Yoga. Tapi pembicaraan keduanya berhenti ketika anak kelas mulai memasuki kelas diiringi umpatan dan keluhan ringan karena selesai melaksanakan hukuman.
"WEEEH, HABIS DAPET HADIAH BERSIHIN SAMPAH NIH," ucap Caca tak ada tukas-tukasnya yang langsung mendapat cibiran dari Lia.
Yoga Pranata, anak kelas XI-IPA5 yang di luar tak terlalu terlihat. Seorang blesteran Jepang-Indonesia dengan raut wajah dingin. Di kelas mungkin ia di kenal 'Sasuke', dan di luar kelas ia tak lebih dari 'Secircelnya Arjuna'. Mereka berada di ruangan yang sama di kelas X, membuat Yoga sedikit lebih tenang ada di kelas ini awalnya. Namun ketika tau temen kelasnya modelan Jeiden, Hessa, atau Haikal yang tipikal kenal gak kenal yang penting akrab, membuat Yoga jadi secara tidak sadar menyukai kelas ini.
"Untung banget lo sama Chacha tadi izin ngumpulin tugas Bu Suzy," gumam Juna masih dengan nafas menderu kelelahan.
"Malu-maluin lo, masak siswa paling aktif MPLS dihukum," gurau Yoga kembali fokus mengeluarkan catatan Musik dari dalam tasnya, "oh ya, nanti gitarnya bisa gue ambil pulang sekolah kan?"
"Boleh, besok biar gue yang bilang sama anak band."
Yoga mengangguk sedangkan Juna segera kembali ke bangkunya, duduk tenang daripada kena omel lagi mengingat dia jadi salah satu anak Pak Joko di ekskul Band. Yoga mungkin menjadi satu-satunya siswa yang tak memiliki ekskul tetap, pemuda itu kadang mengekor Juna ke band sembari membawa alat musik ikut-ikutan, terkadang juga mengekor Jeiden, Hessa, Soni, dan anak lainnya bermain basket. Pandangan pemuda itu tanpa sadar turun mengamati not-not musik di bukunya, tersenyum simpul.
Andaikan Katharina yang sekarang adalah Katharina yang dulu ia kenal, mungkin Yoga tak perlu terlalu menyembunyikan diri seperti ini.
”Yog.”
Yoga menoleh, memandang Haikal dengan dahi berkerut.
”Ikut nonton konser gak minggu depan? Di Taman Bunderan Kota, gue mau pesen tiketnya.”
”Siapa aja?” tanya Yoga hampir berbisik karena Pak Joko sudah memulai proses belajar mengajar.
”Yang fiks baru gue, Rendra, Nathan, Jeiden, sama William sih, tapi tadi gue runding bareng Hadi sama Hessa mereka yes,” balas Haikal tak kalah berbisik, ”band Juna kayaknya main, baru surat pengajuan perizinan katanya.”
”Boleh.”
”Lebih gak? Siapa tau lo mau ngajak temen. Gue, Rendra, sama Nathan ngajak Jeno IPA1 soalnya. Hessa katanya juga mau ngajak Yessa.”
Yoga tampak diam, tiba-tiba jadi termenung sendiri. Ada sedikit keinginan untuk menawari Katharina mengingat gadis itu juga menyukai musik... tapi itu dulu. Ditambah saat ini, sepertinya mereka terlalu asing bahkan hanya untuk menyapa satu sama lain.
”Boleh deh, dua ya,” putus pemuda itu pada akhirnya.
Walaupun Yoga tau, satu lembar tiket yang ia pesan pasti akan berakhir di tempat sampah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Win Crown
Подростковая литератураRated: 15+ Mentahan cover from Pinterest Dialy life from XI-IPA5. Tentang 12 siswa laki-laki dengan 6 siswa perempuan dan kisah SMA mereka. Kalau kamu tanya apakah ini cerita tentang Ketua OSIS yang jatuh cinta? Mungkin saja. Kalau kamu tanya apakah...