13. Boys Time

300 53 22
                                    

"Makasih, Tante."

Nathan sedikit menundukkan kepalanya kalem membuat wanita setengah baya yang mengantarnya sampai ke ruangan ini ikut tersenyum.

"Anggap rumah sendiri ya," pesan Tante Selena sebelum berbalik pergi.

Pemuda dengan pakaian basah kuyub itu lebih dulu menunggu tubuh Tante Selena menghilang sepenuhnya dari tangga sebelum menutup pintu kamar. Menolehkan kepala pada sosok lain yang telah berganti pakaian satu persatu. Si pemilik kamar, Hessa duduk di atas sofa dengan pandangan mendongak songong seolah siap mengusir Nathan kapan pun. Jeiden, Soni, dan Rendra mengambil alih ranjang sembari bersandar dengan santainya. Terakhir ada Haikal yang tengah duduk di depan meja komputer Hessa entah memainkan apa.

Nathan melepaskan tas hitamnya dengan santai, melempar benda itu tepat mengenai wajah Hessa membuat si empu mengumpat keras. "Baju ganti, Sa," minta cowok itu datar tanpa rasa bersalah, melepas seragam putihnya.

"Biji ginti, Si," tiru Hessa berlebihan kesal sendiri, membanting asal tas Nathan ke arah lantai, "cari sendiri! Gak usah manja!"

Dengan segera, Nathan membuka salah satu pintu lemari berukuran besar itu asal. Benar-benar menerapkan perintah Tante Selena untuk menganggap rumah sendiri walau si pemilik kamar sudah mencibir tak suka. Tak merasa menemukan kaos dan celana pendek, Nathan berganti membuka salah satu pintu lainnya.

"Yang tengah, Nat, Ya Tuhan," ujar Hessa menyerah juga, "lama-lama gue paku juga kepala lo."

Bukannya takut, Nathan justru terkekeh kecil.

"Jeno gak ikut mampir Nat?" tanya Haikal mengalihkan pembicaraan.

"Gak, bawa mobil anaknya." Nathan mengambil kaos putih dengan celana kain selutut berwarna hitam, masuk ke pintu lain yang ia duga kamar mandi karena Hessa kembali diam tak memberikan arahan.

Tak lama sejak Nathan mengganti baju dan bergabung dengan Hessa di atas sofa, pintu putih kamar kembali terbuka. Seluruh mata kembali fokus pada satu orang yang kini tampak tersenyum dan mengangguk sopan pada Tante Selena. Tidak heran jika rumah Hessa menjadi tempat berteduh karena Haikal sempat mengatakan jika rumah Hessa ternyata dekat dengan SMA Garuda dan mengirimkan lokasi rumah ini ke grup kelas.

"Ini pada berteduh apa pada gak punya rumah deh?" tanya Hessa tak habis pikir karena sekarang bertambah satu orang penghuni lagi di kamar besarnya.

"Kalau Jeiden emang gak punya rumah," jawab Rendra asal membuatnya mendapat dorongan kecil dari Jeiden.

Juna meringis, melepaskan kancing seragamnya satu persatu menyisakan kaos T-shirt putih yang pemuda itu gunakan sebagai dalaman. Pemuda itu tanpa kata segera bergabung di atas sofa, mendorong tubuh Hessa agar memberikannya tempat di tepi yang lebih hangat.

"Hujannya deres banget ya, padahal udah masuk musim kemarau," kata pemuda itu seolah tak mengerti dengan cibiran Hessa, "nyesel banget gue nungguin Pak Joko di sekolah."

"Gimana, Jun? Di-acc?" respons Nathan tampak lebih fokus mengetikkan sesuatu di layar ponsel.

Anggukan dilakukan Juna sebagai respons sederhana. "Katanya selama gue yakin bisa handle tim, berangkat gak papa."

Haikal sudah heboh sendiri karena benar-benar jadi berangkat menonton konser. "Kalau gak jadi bisa dibakar sekelas sih gue."

"Apalagi sama Chacha," sahut Rendra hafal betul bagaimana cewek Chinese itu selalu terbakar dengan semangat berlebihan, "gila ya cewek-cewek di kelas, berasa masuk hutan rimba gue, singa semua."

Juna tanpa sadar jadi mengangguk, memegangi pipinya yang masih terasa perih. Pemuda itu membasahi bibir, menatap Hessa di sisinya dengan aneh. Seingatnya, ini bukan pertama kalinya Arina dipuji cantik, tapi berkali-kali entah itu dari mulut Jeiden atau mulut cowok lain di kelas. Tapi ini pertama kalinya ia melihat Arina menampar orang lain hanya karena memuji kecantikan gadis itu, dan lebih buruk lagi, tamparan itu untuk Juna.

Win CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang