Hessa masih mengatupkan bibir sempurna, tak berani mengungkapkan pertanyaan atau menyeletuk kurang ajar. Ia melirik singkat pada sosok Lia yang masih terisak, selanjutnya menjatuhkan pandangan pada Nathan yang memang tadi menghubunginya untuk datang ke mari. Lalu apa yang harus pemuda itu saksikan? Wajah Lia yang memerah dan wajah Nathan yang mengeruh?
"Nat," panggil Hessa pelan, "bisa lo tinggal kok, entar biar gue yang nganterin Lia pulang."
Nathan bergumam, bangkit dari anak tangga tempat mereka duduk. "Gue cabut."
Hessa mengangguk, melambai santai pada sosok Nathan. Pemuda itu kembali memandang gadis yang duduk pada anak tangga satu tingkat di bawahnya. Bibir Hessa kembali terkantup sempurna, menunggu Lia agar lebih tenang.
Satu sisi menyebalkan gadis ini kembali muncul.
"Ya," ujar Hessa malas, "gue benci banget tauk gak sama sisi lo yang kayak gini."
"Gue juga benci," sahut Lia cepat dengan isakan kecil, mengangkat wajah pada Hessa, "gue benci banget terlibat di antara lo sama Nathan."
"Bukan itu!" sela Hessa tajam tak kalah cepat. "Lo selalu berusaha buat kabur ngehindar dari masalah daripada berdiri ngadepin itu, terus setelah itu bersikap kayak gak ada apa-apa. Lo masih sepecundang itu? Masih gak bisa berdiri buat diri lo sendiri? Masih gak bisa bicara buat diri lo sendiri daripada bicara buat ngembaliin hidup lempeng lo itu?"
"Sa-"
"Diem!" Hessa memotong cepat, tubuhnya turun satu tangga sejajar dengan Lia. "Gue tau lo gak punya orang tua, mungkin emang gak ada yang ngajarin lo buat bersikap tegas gimana buat ngehargain orang lain, atau mungkin sosok lo bakal selalu cari pelindung buat ganti sosok orang tua lo yang gak pernah hadir. Awalnya gue pikir itu normal, tapi apa lo mau terus menormalisasi itu? Lo sadar kan lo gak bisa terus ngerude orang lain buat ngertiin diri lo?"
"Kenapa sih lo berdua harus suka sama gue?" tanya Lia kesal. "Lo tau sikap gue nyebelin, kenapa lo masih naruh rasa sama gue?"
Hessa berdecak kasar, hampir mengumpat memajukan tangan pada Lia yang menutup matanya refleks. Tangan besar Hessa memelan, mendorong kecil dahi Lia agar gadis itu tak terbentur pada dinding. Ia jadi menghela nafas berat, memandang gadis itu dengan senyum tipis dan pandangan melunak.
"Bener-bener gak ada yang ngajarin lo tentang gimana prosedur perasaan manusia bisa jalan ternyata," gumam Hessa pelan, "semati itu perasaan lo?"
Perlahan, Lia membuka kelopak matanya, mengangguk kecil dengan wajah mengerut yang berubah lebih tenang. "Gue cuman takut."
"Apa yang lo takutin sih, Ya? Punggung gue masih di sini buat jadi perisai, apa yang perlu lo takutin."
"Hubungan gue sama lo, hubungan gue sama sekelas, gue takut, Sa. Senyaman itu gue di IPA5 sampai rasanya gue gak mau ada yang berubah."
"Ya, dengerin gue!" Hessa mengarahkan tubuhnya miring, membuat tubuh keduanya saling berhadapan. "Kalau seandaikan emang lo suka Nathan dan milih jadian sama tuh anak, mungkin gue emang bakal ngejauh, tapi paling gak ada tiga empat bulanan gue bakal biasa lagi-"
"Gue gak suka sama Nathan, Sa," jawab Lia cepat, "hubungan gue sama Nathan tuh cuman sekedar dia perhatian sama gue, jadi gue harus memberikan timbal balik berupa perhatian juga kan?"
"Timbal balik timbal balik timbal balik muluk otak lo," ujar Hessa kesal, "bisa gak sih sekali-kali lo mikir pakek ati gitu? Jangan apa-apa lo pikir logika!"
"Ya gak bisa!" jawab Lia galak. "Gue gak tau gimana caranya," lanjut gadis itu merunduk pelan.
Suara helaan nafas kembali terdengar pelan. Hessa meluruskan tubuhnya, bersandar pada dinding dengan berat. Tak pernah terbayangkan sama sekali akan terlibat dalam drama sesulit ini hanya karena menaruh rasa pada Lia. Harusnya Nathan tak perlu muncul, agar Hessa tetap dapat memendam perasannya dan tak mendorong Lia dalam keadaan sulit seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Win Crown
Teen FictionRated: 15+ Mentahan cover from Pinterest Dialy life from XI-IPA5. Tentang 12 siswa laki-laki dengan 6 siswa perempuan dan kisah SMA mereka. Kalau kamu tanya apakah ini cerita tentang Ketua OSIS yang jatuh cinta? Mungkin saja. Kalau kamu tanya apakah...