”Elia Neiva Palmyra?”
Gadis berseragam rapi dengan almamater abu-abu tua Garuda High School di kursi tunggu segera berdiri. Rambut lurus di bawah bahunya pagi ini tergelung sederhana menyisakan rambut-rambut baru tumbuh dibiarkan tergerai pada masing-masing sisi wajah, menimbulkan kesan rumahan namun tetap sopan. Lia menipiskan bibir, menganggukkan kepala kecil sebagai bentuk sopan santun pada wanita muda berlipstik merah yang berdiri memegang berkas di hadapannya.
”Ingin bicara dengan saya?” tanya Bu Joy. ”Masuk dulu gak papa,” komando wanita itu melangkahkan kaki lebih dulu masuk ke ruangan.
Lia menghela nafas panjang, mengangguk yakin sebagai bentuk pancingan agar kepercayaan dirinya tak runtuh begitu saja di hadapan Bu Joy. Ia sudah menyiapkan dialog ini sejak pembagian kelas diumumkan dua minggu lalu dengan segala pertimbangan dan argumen yang akan menguatkan pendirian Lia. Gadis itu mulai bergerak dengan langkah yakin, mengambil tempat di hadapan Bu Joy setelah dipersilahkan untuk duduk.
”Jadi kamu mau ganti kelas?” tanya Bu Joy lagi setelah mengamati layar ponselnya yang mungkin menunjukkan chat Lia kemarin. ”Kelas mana dan kenapa?”
”XI-IPA1,” jawab Lia percaya diri, ”nilai bersih saya masuk 10 besar di seluruh angkatan untuk penentuan pemilihan kelas.”
”Lalu?”
”Saya menyumbangkan penghargaan untuk keikutsertaan Olimpiade Fisika di kelas X, terlibat dalam kontes debat Inggris tingkat Nasional, dan-”
”Kamu pikir IPA1 tempat orang-orang pinter?”
”Ya?” Suara Lia memelan dengan ekspresi wajah menggebu yang mulai turun. ”Nama-nama untuk peringkat 2-21 secara keseluruhan ditempatkan di IPA1. Saya berada di peringkat 22 akibat melewatkan nilai akhir satu pelajaran karena harus dirawat di rumah sakit, tapi setelah nilai keseluruhan saya keluar, saya berada di peringkat ke 5 dari seluruh angkatan.”
”Kamu bilang peringkat 2-21, right?” Bu Joy kali ini tampak fokus, menjatuhkan pandangan sayunya tepat di mata bulat Lia yang tampak berlinang. ”Kalau begitu, di mana peringkat 1 ditempatkan?”
”XI-IPA5,” jawab Lia menciut begitu saja.
Sebenarnya ini juga merupakan salah satu pertimbangan bagi Lia untuk tetap memendam keluhan atas keputusan kelas. Yoga Pranata yang merupakan pemilik nilai tertinggi dan selalu berada di peringkat pertama untuk masalah akademik di seluruh angkatan sejak awal MPLS juga berada di XI-IPA5. Tapi menurut Lia, keduanya punya kasus yang berbeda. Yoga memang memiliki nilai tertinggi, tapi pemuda itu tampak tak terlalu peduli pada prestasi akademiknya. Tak pernah ada nama Yoga Pranata di seluruh ekskul OSN atau club akademik yang lain, sedangkan Lia mencoba sebisa mungkin jadi yang terbaik untuk seluruh pencapaiannya.
”You get the point, girls. Oke, saya rasa-”
”Sebentar, Bu!” sela Lia tak sopan supaya ia tetap mendapat kesempatan berbicara, ”Saya sudah memikirkan ini dari jauh-jauh hari, dan saya rasa lingkungan XI-IPA5 tidak akan sesuai untuk membantu meningkatkan kemampuan saya baik di bidang akademik maupun bidang lain. Saya butuh lingkungan yang suportif dan kondisional untuk mengoptimalkan kemampuan saya.”
Wanita cantik dengan tampilan sensual karena kesan bibir penuhnya yang merah merona dan seragam yang dapat dikatakan ketat itu mengangkat satu alis bingung. ”Bagaimana bisa kamu tau lingkungan XI-IPA5 tidak akan suportif di saat kamu baru akan melakukan proses belajar-mengajar hari ini? Elia, saya tahu ini akan terdengar bodoh untuk siswi cerdas seperti kamu, tapi pihak sekolah sudah memilih kelas dengan mempertimbangkan semua aspek dan kemampuan siswa, dan tidak ada istilah siswa unggulan atau lainnya, semuanya sama. Oke?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Win Crown
Подростковая литератураRated: 15+ Mentahan cover from Pinterest Dialy life from XI-IPA5. Tentang 12 siswa laki-laki dengan 6 siswa perempuan dan kisah SMA mereka. Kalau kamu tanya apakah ini cerita tentang Ketua OSIS yang jatuh cinta? Mungkin saja. Kalau kamu tanya apakah...