"Lo pindah rumah jauh banget."
Lia yang tengah merunduk fokus menata buku jadi menoleh, memandang pemuda jangkung dengan setumpuk kardus tengah mendekat. Gadis itu tanpa sadar menipiskan bibir, bergerak bangkit mendekat. Hessa memalingkan tubuh begitu tangan Lia maju ingin mengambil kardus paling atas, membuat gadis tersebut justru menabrak punggungnya pelan.
Suara decakan terdengar refleks. "Sini biar gue bantu."
"Gak usah, lo tunggu sana aja, biar gue yang bawa."
"Serius?"
"Iyeee," jawab Hessa malas, "udah sana-sana!"
Bibir bawah Lia maju mengerucut, tapi berikutnya jadi berbalik arah, kembali ke lemari barunya di kamar yang masih polos ini. Tembok yang masih berwarna abu-abu terang, sprei yang masih berwarna putih polos, jauh dari image kamar gadis itu yang sebelumnya didominasi warna biru dengan hiasan boneka Stitch. Hessa menaruh kardus di lantai bawah, menarik kursi belajar yang telah disiapkan sembari menyangga dagu dan memperhatikan Lia.
"Barangnya tinggal ini?" tanya Lia mendongak memandang Hessa mengangguk. "Makasih, ya."
Hessa bergumam pelan. "Kenapa gak tinggal di rumah yang dulu aja?"
"Lo lebih pilih gue pindah rumah apa pindah negara sih, heran, masih untung gue cuman pindah ke sini."
"Ya tapi kan bensinnya mahal."
Lia mendelik, berikutnya berdecih tak santai hampir meludak pada Hessa yang sudah terbahak. "Lo kapan pernah beli bensin? Hidup lo kalau gak ngemis ke gue alergi kayaknya."
Suara kekehan makin terdengar ke seluruh ruangan kamar yang menggema. Hessa menurunkan garis mata tajamnya dalam, kembali menyangga dagu memandang gadis di hadapannya yang juga kembali sibuk menata buku. Pemuda itu tanpa sadar menipiskan bibir, mengikuti gerak sibuk tubuh Lia.
"Lo tau gak sih kenapa gue selalu jahilin lo?"
Kepala Lia menoleh sekilas. "Caper."
Hessa mengangguk membenarkan tanpa elakan. "Sekarang mau gue ganti uang lo?"
"Gak usah," jawab Lia cepat, "katanya mau lo ganti pakek seserahan nikah."
"Lo mau?"
Bukannya menjawab, Lia justru menghela nafas lelah, menoleh pada pemuda itu sinis. Lagi-lagi, gadis itu mengeluarkan decakan sembari memutar bola mata malas. Tapi begitu tangan Lia tak sengaja menyentuh wadah plastik di dalam kardus, wajahnya jadi kembali merekah.
"Sa, mau nyobain treatment wajah gak? Pakek lidah buaya? Kemarin gue beli sama Chacha."
"Hah?" Hessa manikkan sebelah alisnya tak paham. "Lidah buaya? Yang lancip-lancip itu?"
"Lancip-lancip apa sih? Orang gel-nya yang dipakek."
"Gimana gimana?" tanya Hessa makin gak paham. "Lendir maksud lo? Anjir jijik banget."
Entah untuk ke berapa kalinya suara decakan keluar dari bibir Lia ingin memprotes. "Seger tauk rasanya, serius. Coba deh."
"Mau dipakek masker apa dipakek jus sih? Kok seger?"
"Bangsat bangsat!" umpat Lia. "Lo tinggal rebahan, tutup mata, setelah itu gue yang urus. Sini-sini!"
Lia mengambil bantal cepat dari atas ranjang. Tubuh gadis itu perlahan turun, duduk lesehan dengan kaki terlipat menepuk nepuk bantal di hadapannya sebagai isyarat agar Hessa di atas kursi cepat turun. Pemuda itu sempat melirik sinis, menggerutu pelan walau tetap saja ikut menjatuhkan tubuh, menaruh kepalanya membelakangi tubuh Lia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Win Crown
Teen FictionRated: 15+ Mentahan cover from Pinterest Dialy life from XI-IPA5. Tentang 12 siswa laki-laki dengan 6 siswa perempuan dan kisah SMA mereka. Kalau kamu tanya apakah ini cerita tentang Ketua OSIS yang jatuh cinta? Mungkin saja. Kalau kamu tanya apakah...