45. Mengupas Perasaan Anak Kacang

236 43 7
                                    

”Jeiden Cakra Adnan! Soni Harun Ikbar! Hessa Akrasa Permana! Xafier Biarawan Vincent!”

Empat pemuda yang tengah berjalan santai di koridor kelas IPA menuju tangga ke lantai dua tempat IPS dan terselip satu kelas IPA buangan di mana itu kelas mereka berhenti mendadak. Keempatnya menoleh dengan wajah takjub mendapati Bu Krystal menghafal nama mereka dengan baik. Guru cantik dengan tubuh ramping semampai itu berjalan layaknya wanita-wanita karir menenteng tas jinjing yang akan menghadiri rapat penting.

”Kenapa kalian berempat masih di luar kelas?”

Jeiden maju selangkah percaya diri mengulas senyum tipis. ”Ini mau ke kelas kok, Bu, Bu Krystal ada-ada-”

”Seragam kamu ini minta saya potong atau bagaimana?”

Pertanyaan lanjutan dari Bu Krystal membuat Jeiden mundur perlahan, menghilangkan senyum yang digantikan oleh wajah masam. Pemuda tampan itu tanpa membuka mulut kembali merapikan seragam putihnya ke dalam celana abu-abu, mengerti dengan pasti kode dari Bu Krystal. Hessa di bagian paling belakang terkikik kecil, tak dapat menahan untuk tak mengatai sosok sok Jeiden.

”Hessa Aksara Permana!” panggil Bu Krystal dengan suara lebih tinggi.

Hessa menegakkan tubuh, bersikap siap.

“Potong rambut kamu!“

”Baru dipotong ini, Bu,” protes Hessa memegangi rambutnya sendiri, ”belum juga tumbuh lagi udah Bu Krystal suruh potong.”

”Besok saya lihat rambut kamu masih melebihi panjang kelingking saya,  saya yang pastikan rambut kamu dipotong habis,” ancam wanita tinggi itu tajam.

Bibir menggerutu Hessa refleks tertutup rapat mendapatkan lirikan tajam Bu Krystal.

”Soni Harun Ikbar!”

”Siap, Bu!“

Soni menghentakkan kaki dengan tangan memberi hormat layaknya tengah melakukan latihan upacara. Pemuda dengan wajah baby face itu lebih dulu memeriksa penampilannya dari atas sampai bawah, dan tidak ada yang kurang. Dasi, ikat pinggang, seragam ragi, sepatu hitam yang wajib dikenakan setiap Senin dan Selasa, sampai rambut pendek sesuai aturan siswa Garuda High School.

”Ngapain kamu di sini?” tanya Bu Krystal dengan nada lebih kalem.

”Tadi habis dari perpustakaan buat nyiapin materi ulangan harian, Bu!” jawab Soni lantang benar-benar bertingkah layaknya pemimpin upacara.

”Materi apa?“

Soni melirik pada sosok tinggi lain di sisinya yang terlihat hanya menonton tak peduli, cowok itu dengan kesal menggerakkan kaki, menginjak jempol kaki Xafier membuat cowok lugu itu memekik terkejut. Hal itu berhasil membuat Bu Krystal mengalihkan fokus, menoleh pada Xafier aneh.

”Materi organ paru-paru Biologi mata pelajarannya Bu Tiwi, Bu,“ jawab Xafier mengembangkan senyum paksa.

“Organ paru-paru?“

”Maksudnya alat pernapasan, Bu.” Jeiden menyela, membenarkan dengan wajah tersenyum kalem.

Bu Krystal mengangguk, mempercayai walau berikutnya tetap memicing tajam ke arah Xafier. ”Saya gak denger lagi keluhan tentang kamu yang suka bolos dari guru-guru.”

”Dia ngancam saya, Bu.” Soni berujar keras, menunjuk Xafier mengadu. ”Katanya kalau saya gak jemput dia gak mau berangkat sekolah.“

”Dia juga ngancam saya, Bu.” Hessa ikut-ikutan. ”Katanya kalau gak  dibeliin buku dia gak mau sekolah.”

”Dia juga ngancam saya, Bu.” Jeiden menyahut cepat. ”Katanya kalau gak duduk di belakang Arina gak mau sekolah.”

Soni dan Hessa ingin mengumpat mengatai Jeiden namun keduanya harus menahan diri mengingat kini mereka menghadapi satu dari tiga guru BP yang luar biasa galaknya. Xafier melebarkan mata mendapat tiga jari telunjuk mengarah padanya, pemuda itu menggeleng cepat dengan wajah lugu, menampik tangan-tangan di depan wajahnya kesal. Pemuda yang sejak tadi sudah menggerutu karena sejak tadi terjebak di gerombolan ini semakin menggerutu sebal pada ketiganya.

Win CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang