53. Mereka yang Bungkam

215 42 8
                                    

"Nat?"

Nathan di depan pintu OSIS menoleh, melontarkan senyum kecil pada gadis semampai yang menghampirinya bersama satu sosok tinggi pemuda. Yoga melemparkan tatapan tak santai, benar-benar menunjukan jika gadis cantik di sisinya hanya jadi miliknya seorang. Nathan yang awalnya ingin terkekeh pelan segera mengatupkan bibir sempurna, menahan diri untuk tak terbahak.

"Lo tungguin sampai selesai OSN, Yog?" tanya cowok itu memulai basa-basi, menerima selembar kertas yang Katharina berikan. "Thanks ya Rin, sorry minta mendadak."

"Gak papa kok," jawab Katharina santai, "gue emang nyatet data anak Cheers sebelumnya buat jaga-jaga. Masih nunggu yang lain ya, Nat?"

"Masih banyak yang belum setor sih, buat hari ini gue udah bilang gue tunggu sampai jam enam."

"Kenapa gak anak buah lo aja deh?" tanya Yoga mengamati ke dalam pintu Ruang OSIS yang nyatanya sudah kosong menyisakan Ketuanya di depan sini.

"Kasian, pada habis rapat pasti capek, jadi kalau masih bisa gue urus sendiri ya gue urus."

Yoga mengangguk, tak terlalu ingin ikut campur walaupun sebenarnya ingin sekali mencibir sikap sok cowok satu ini. Cowok itu jadi meraih lengan Katharina, pamit lebih dulu sebelum melangkah pergi yang hanya dibalas dengan lambaian ringan Nathan. Pemuda itu kembali merunduk fokus, beberapa kali mengecek lembar di tangannya untuk dicatat kembali ke ponsel dan dikirimkan pada sekertaris OSIS yang sebenarnya bertugas sekarang.

Suara tawa pelan membuat Nathan kembali menolehkan kepala, memandang dua orang perempuan yang berjalan mendekat. Tubuh mungil Lia di sisi tubuh tinggi Bu Tiwi tampak beberapa kali tersenyum dengan kekehan kecil setiap kali guru Biologi mereka tersebut melontarkan kata yang tak bisa Nathan dengar. Nathan tanpa sadar tersenyum miris, menundukkan pandangannya kembali pada ponsel.

"Lho? Nathan? Belum pulang?" Bu Tiwi menegur halus, membuat Lia yang awalnya tak terlalu fokus pada lingkungan sekitar ikut menoleh.

Gadis itu sempat tersentak, bahkan mundur selangkah kaku sendiri karena hampir mengenai tubuh Nathan. Keduanya jadi melontarkan pandangan heran terselimuti aura canggung. Pemuda itu dengan cepat mengatur ekspresi menoleh pada Bu Tiwi sembari mengangguk kecil sopan.

"Ngurus nama-nama buat organisasi yang diajuin buat tampil di Gelar Seni, Bu."

"Oh," balas Bu Tiwi pelan, "ya udah semangat kalau gitu, saya tinggal dulu."

"Iya, Bu, hati-hati di jalan."

Lia tak ikut menggerakkan tubuh mengikuti Bu Tiwi, gadis yang sore ini menggelung rambutnya sederhana itu hanya mengulas senyum tipis dengan anggukan kecil sopan pada kepergian Bu Tiwi. Untuk kedua kalinya sepasang mata itu saling pandang diam, sama-sama bingung harus melontarkan sapaan seperti apa. Nathan memilih tak membuka bibirnya sama sekali, tetap diam merasa memang tak ada yang perlu dibicarakan. Lagipula, kenapa gadis ini ikut berdiri?

"Lo mau nunggu di sini aja?" tanya Lia pelan setelah beberapa menit menguatkan niat untuk terlibat pembicara dengan Nathan setelah pengakuan Hessa beberapa waktu lalu.

Pemuda itu tak tampak menyukainya, atau sekedar menaruh rasa tertarik padanya. Hessa tak lebih dari membual untuk membuka obrolan beberapa waktu lalu dan mencari keuntungan mengungkapkan perasaannya sendiri. Lia tak seharusnya bersikap canggung, atau percaya diri tingkat tinggi pemuda ini menyukainya.

"Hm?"

"Gak mau nunggu di rumah Hessa dulu? Sambil rebahan?" tanya Lia lagi memperjelas. "Kayak patung lo nunggu di sini."

Nathan terkekeh kecil. "Enggak deh, Ya, Hessa-nya juga latihan ekstra buat kompetensi basket."

"Kenapa gak nunggu di dalem aja?"

Win CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang