57. Dua Hati yang Patah

226 34 0
                                    

”El, mau ikut ke Mall?”

Eli mendongak, menggeleng kecil dengan senyum tipis. ”Enggak deh, gue udah dijemput.”

Chacha mengangguk. ”Hati-hati ya,” pamit gadis Chinese itu menggandeng Lia di sisinya yang ikut melambai ringan.

”Chacha gue ikut!” Senya bangkit lebih dulu. ”Chaerra ayok.”

Tubuh semampai Chaerra ikut bangkit. ”Rin, ikut gak?”

”Ikut-ikut, bentar.”

Eli memandang kelima gadis itu dengan tatapan sayu. Ia sama sekali tak terasingkan di sini, tapi kenapa rasanya tetap sama, ia tak bisa bergaul. Rasanya, Eli selalu menjadi pihak pasif dalam suatu hubungan. Ia tak pernah menjadi pihak yang memberikan peran dalam suatu hubungan, tak pernah ada yang mengajarinya untuk melakukan hal itu hingga sampai detik ini.

Awalnya, gadis itu merasa akan sedikit lebih tenang sejak kejadian beberapa bulan lalu di mana salah satu pemuda dari kelas ini mengatakan ia cantik dalam keadaan apapun.

”Lo cantik, pakek bandana cantik, gak pakek cantik, melotot cantik, gak melotot cantik, udah gak bakal ada yang bilang lo jelek.”

Namun sekarang, Eli tau, ia hanya sekedar cantik, dan bukannya menarik.

”El, balik gak?” tanya Soni mencolek kecil bahu satu-satunya gadis yang tersisa di kelas. ”Mau bareng?”

Eli menggeleng dengan senyum tipis. ”Enggak deh, Son, gue balik sendiri.”

”Oke, hati-hati,” pesan pemuda itu disusul Hadi, Juna, Hessa, dan Yoga di belakangnya.

”Hati-hati, El.”

”Hati-hati, El.”

”Hati-hati, El.”

Suara tawa Eli terdengar pelan dengan anggukan kecil. ”Iya,” jawab gadis itu tenang.

Gadis itu awalnya memiliki niat untuk berubah, paling tidak ia harus memiliki kontribusi. Ketika Jeiden menawarkan keluar bersama Hana, Eli mengangguk begitu saja mendengar William akan ikut. Ia pikir itu awal yang baik. Tapi ternyata, sosok Eli benar-benar hanya sebagai pelengkap semata. Kalau saja ia tak ada di IPA5, tak akan merubah banyak formasi kelas ini.

Pada faktanya, bukan IPA5 yang butuh Eli ada di sini, namun Eli yang butuh ada di IPA.

”Tidur muluk lo, pulang.”

Teguran keras Jeiden membuat Eli tersentak, gadis itu menoleh memandang cowok-cowok di baris belakang masih rusuh.Yuda,  Haikal, Rendra, dan Nathan lebih dulu keluar bersamaan, melambai pada Eli yang hanya melontarkan senyum tipis. Jeiden dan William berdiri di masing-masing sisi bangku Xafier, membangunkan pemuda dengan garis wajah lugu yang tampak masih memejamkan mata.

”Lo pulang aja duluan!” usir Xafier berdecak kasar. ”Entar gue butuh pulang juga pulang kalik.”

”Pulang gak? Udah berapa hari lo gak pulang?” ancam Jeiden tajam. ”Nginep kolong jembatan mana lo?”

”Udah gue bilang gue pulang,” sahut Xafier tak bersahabat, ”minggir-minggir lo pada, ganggu muluk.”

Eli mengerjap, memandang kepergian Xafier dengan wajah bayinya yang merenggut kesal lucu. Tapi gadis itu lebih terkejut dengan sikap yang ditunjukan oleh pemuda tersebut. Setahunya, Xafier adalah satu-satunya sosok tenang yang selalu mengekor dengan Chaerra atau Yuda, berjalan di belakang keduanya setiap kali ada ada kegiatan.

”El, pulang,” tegur Jeiden ringan, melambai kecil, ”jangan kebanyakan ngelamun di kelas, kesurupan setan Garuda lo entar.”

”Iya.” Eli balas melambai, memandang kepergian Jeiden dan William dengan garis mata menurun.

Win CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang