72. Semester Ganjil The End

520 52 81
                                    

”Udah siap semua?”

Lia mengangguk, memeriksa ulang tas punggungnya. ”Bawa baju ganti berapa sih?”

”Gue cuman bawa kaos pendek satu, kemeja satu, sama hoodie satu, ke Jogja tiga hari doang,” jawab Hessa enteng, merebahkan dirinya di atas tempat tidur, ”gak usah banyak-banyak, yang penting obat-obatan lo aman, yang lain bisa beli di sana.”

”Tumben banget Wisata Edukasi-nya deket.”

”Kata Nathan, OSIS ngambil tema local wisdom, jadi ya ke Jogja aja. Hasil suara voting juga pada milih ke Jogja daripada Singapura.”

Untuk kedua kalinya Lia mengangguk paham, gadis itu menutup resleting tasnya. Memasukkan kembali koper yang awalnya ingin ia bawa tapi justru mendapat cibiran dari Hessa. Sebenarnya, Lia juga tak berniat membawa banyak barang, toh masih di negara mereka yang mana mereka jauh lebih siap daripada harus ke luar negeri. Tapi Arina, Chacha, dan Eli sudah heboh di grup khusus cewek IPA5 mengenai barang apa saja yang tidak boleh tertinggal untuk OOTD.

Gadis itu perlahan ikut merebahkan diri, memandang atap kamar dengan helaan nafas panjang. ”Gue takut.”

Hessa menggerakkan kepala menoleh, berikutnya tubuhnya jadi ikut miring memandang Lia seutuhnya. ”Gak papa, ada gue.”

”Gimana kalau sikap yang lain ikut berubah?”

”Kenapa harus ikut berubah?” tanya Hessa jadi menyangga kepalanya dengan tangan. ”Lo lihat gue deh, emang gue berubah? Mau lo jadi temen gue, jadi pacar gue, gak ada yang bakal berubah. Bedanya sekarang cuman gue tau gimana harus bersikap ketika ada cowok yang deketin lo, dan lo juga tau gue bakal tetep di sini karena kita punya ikatan. Cuman itu.”

”Maksud gue, Rendra sama Haikal, terus-”

”Gak bakal ada yang berubah, percaya sama gue,” sela Hessa cepat, ”lo bakal tetep jadi Ketua Kelas kesayangan yang lain, tetep bakal jadi babunya IPA5 yang disuruh ini itu, bakal tetep jadi Elia Neiva Palmyra yang selalu pengen Hessa Aksara Permana jahilin.”

Lia secara perlahan menggerakkan kepalanya ikut menoleh, memandang Hessa dengan wajah serius begitu pula sebaliknya. Selama seminggu liburan, gadis itu masih belum berani menemui siapapun terutama dari kelas XI-IPA5. Walaupun memang ia yang menginginkan semua orang agar tahu hubungannya dengan Hessa kini bukan hanya sebatas teman, namun gadis itu juga takut mendapat respons yang jauh dari ekspetasinya.

”Lo sama Chacha baik kan?” tanya Hessa lagi.

Kepala Lia mengangguk kecil. ”Dia seneng gue jadian sama lo.”

”Ya udah, selama ada Chacha, gue yakin lo oke.”

”Respons yang lain gimana, Sa?"

”Gak gimana-gimana. Cuman tanya kok bisa lo mau sama gue, habis itu gue jawab, gue ganteng emangnya kenapa,” ujar Hessa bercerita, ”tau gak Yoga sampek menganga banget, katanya gak nyangka lo mau sama gue.”

”Iya sih, spek gue turun banget dari Yoga ke lo.”

”Anjing.”

Suara kekehan terdengar puas, Lia jadi ikut memiringkan tubuh, menyangga kepalanya dengan tangan mengikuti pose Hessa membuat keduanya saling berhadapan. Tawa kecil Lia perlahan berubah jadi senyum tipis, gadis itu menurunkan pandangannya, memainkan tangan pada sprei kasur entah kenapa jadi canggung sendiri. Tapi di sisi lain, justru segalanya tampak terasa lebih baik setiap kali Lia memikirkannya ulang, hubungannya dan Hessa jadi terasa lebih jelas begitupula dengan perasannya sekarang.

”Gue-“

”Sayang sama lo,” potong Hessa cepat, ”sayang bangeeetttt, ya walaupun belum sesayang gue ke Yessa, tapi perasaan gue ke lo tuh beda banget.”

Win CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang