63. Sidang Cowok XI-IPA5

205 43 3
                                    

”Jei!”

Haikal mendesis layaknya ular memanggil pemuda yang sejak tadi sebenarnya sudah menoleh ke arah cowok berkulit sawo matang itu malas. Hessa yang juga duduk di sisi dekat Haikal sejak tadi rasa-rasanya ingin menampar mulut pemuda itu dengan sepatu karena sudah heboh cosplay ular. Ngomong dikit dikasih desisan, ngomong dikit dikasih desisan.

”Perlu ruqiah gak sih?” tanya Hessa menoleh pada Jeiden. ”Capek banget gue temenan sama Haikal.”

”Gue juga capek kalik temenan sama lo!“ Haikal mendorong bahu Hessa keras, mengangkat tangan berlagak ingin mematok layaknya ular kembali mendesis.

”Apa sih anjing!” Hessa dengan tak santai menaikkan satu kakinya, menendang bahu Haikal tak kalah keras. ”Habis kesurupan apa sih lo tiba-tiba jadi siluman ular?”

Jeiden memandang keduanya yang masih sibuk melontarkan cacian satu sama lain bergantian. Padahal beberapa anak yang lain masih tampak anteng, duduk merunduk pada kertas ujian, sedangkan ketiganya yang sudah selesai lebih dulu mengambil tempat paling pojokan karena memang dilarang ke luar kelas lebih dulu sembari menunggu Juna. Lirikan maut Chaerra berhasil menghentikan perang mulut antara Haikal dan Hessa membuat Jeiden duduk jauh lebih tenang.

”Juna tuh nulis apa sih?” tanya Hessa heran sendiri. ”Kayak paham aja.”

”Juna tuh pinter, makannya bertemen sama Yoga dong,” cibir Haikal justru membela pemuda di depan sana, ”gak kayak lo temenan sama orang-orang otak kosong-”

”Kayak lo,” sahut Jeiden cepat menyambung kalimat Haikal, ”Kal, mending lo chat Rendra, bilang bentar lagi kita udah kelar.”

”Ini serius pada mau ngelabrak Nathan?” tanya Hessa meragu. ”Kasian banget gue sama hidup Nathan, udah jadi budak Garuda, kena tipes, sekarang harus ngadepin komplotannya preman jadi-jadian.”

”Bangsat! Perlu gue ingetin lo yang paling semangat dari semalem.”

Balasan Jeiden menghadirkan tawa pelan Hessa. ”Lo gak tau aja gimana rasanya dikit-dikit ditelfon, dikit-dikit ditelfon, dikit-dikit ditelfon suruh jemput, berasa jadi supir pribadi dia.”

”Lebay banget, padahal baru kemarin Nathan minta tolong ke lo buat anterin dia pulang.”

Hessa terkekeh pelan, menoleh pada Haikal sembari menjulurkan lidah tak peduli. ”Eh lo berdua tau gak-”

”Serius deh, Sa, lo lama-lama jadi bandar gosipnya IPA5,” celetuk Haikal gemas sendiri, “dikit-dikit pasti, eh tau gak, eh tau gak, eh tau gak, kayak cewek.”

”Labay, padahal baru kali ini gue ngomong gitu.”

”Jei bukain grup, Jei! Tunjukin depan mata batinnya biar nih orang sadar diri!”

Jeiden berdecak, melirik keduanya tajam memberikan peringatan untuk diam. Bukannya takut, Hessa dan Haikal tambah bersorak ramai membuat Chaerra menoleh untuk kedua kali sembari mengumpat kecil. Kedua cowok itu merapat satu sama lain, menciut begitu saja menyatukan kedua tangan meminta ampun.

”Itung sampai tiga puluh detik, kalau Juna belum selesai-” Kalimat Jeiden terjeda begitu tubuh tinggi Juna bangkit dari bangku, menyerahkan lembaran kertas ke meja guru. ”Kelas samping udah selesai, Kal?”

Haikal yang ditanya membuka layar ponsel, membaca chat balasan dari Rendra. ”Udah, katanya pada siap-siap ke luar.”

”Oke, ayok cabut.”

Jeiden memimpin lebih dulu dengan badan tegap berani, mengabaikan guru di bangku depan yang sempat menoleh tapi berikutnya melengos tak peduli, sudah hafal dengan kelakuan siswa satu itu. Chaerra awalnya ingin mengeluarkan kaki, berharap cowok di barisan paling depan itu nyungsep, tapi ujung kepalanya justru diputar Jeiden agar tetap merunduk pada kertas ujian tak macam-macam. Jeiden dan sikap kepemimpinan adalah perpaduan paling bangsat bagi Chaerra Karinda.

Win CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang