62. Hangat yang Masih Sama

214 44 19
                                    

Lia melengos panjang, menengadahkan kepalanya bersandar pada punggung kursi. Lampu-lampu putih dengan cahaya terang sudah tampak mengitarinya. Ia benci gelap. Tapi ternyata membiasakan diri sejak tadi mulai dari matahari yang berada di ujung kepala, turun perlahan pada batas senja, lalu menghilang digantikan langit dengan warna gelap di atas sana tak buruk juga.

Mata bulat gadis itu terpejam, menikmati helaian angin mengenai sisi wajahnya. Kalau gak pulang buat sehari dulu... seru kali ya? Tapi, gak elit banget kalau cuman kabur dari rumah ke SMA Garuda. Lia tiba-tiba terkekeh kecil, membuka kelopak matanya dengan punggung menegak. Gadis itu segera mengemasi barang-barang di atas meja, membuka kembali ponsel yang menunjukkan chat dari Chacha beruntun.

Mulai sekarang mereka harus berhenti main blokir-blokiran nomor agar tak terjadi lagi seperti ini.

Halo, Ya?”  Suara Chacha terdengar merengek kecil begitu Lia menekan tombol hijau pada layar ponsel ketika sambungan masuk. ”Gimana?”

”Gue udah mau pulang ini.”

Beneran lo tungguin sampek jam segini?” tanya Chacha terisak. ”Kok bisa? Nangis banget gue.”

Lia terkekeh kecil, berusaha menenangkan Chacha di seberang sana. ”Gak usah main blok-blok-an nomor lagi lah habis ini, Cha, lo orangnya pelupa banget.”

Kok lo bisa nungguin sampek jam segini sih sat?”

”Gue kirain tadi Teater emang lagi genjor-genjoran latihan, makannya gue tungguin sampek malem.”

Entar kalau udah sampai rumah pap dong manies, biar tidur gue tenang.”

”Iyeeee,” balas Lia malas-malasan, ”by.”

By, good night.”

Lia bergumam, mematikan sambungan ponsel secara sepihak. Gadis itu dengan cepat mengenakan tali tasnya, beranjak dari sini dengan sugesti-guesti baik yang sebisa mungkin ia isi dalam kepala. Gumaman pelan mengisi langkah kaki Lia dari taman sampai pagar SMA Garuda yang memang hanya akan ditutup ketika jam sepuluh malam.. Sebenarnya, Lia tak terlalu takut karena tau ada beberapa anak yang masih di sini, terbukti dengan beberapa cahaya dari ruang-ruang organisasi yang menyala. Mereka manusia ya, bukan setan!

Tapi begitu langkah kaki Lia keluar dari gerbang utama, gadis itu dibuat terkejut sepenuhnya. Mata bulatnya melotot dengan bibir bawah yang refleks jatuh. Ponsel digenggaman Lia perlahan melorot, membentur aspal jalan menimbulkan suata kencang yang berhasil mengembalikan nyawa gadis itu seutuhnya.

”Hai.”

Suara serak rendah terdengar menyapa kaku. Lia meneguk ludah, sempat merunduk memastikan kaki pemuda di hadapannya benar-benar masih menempel pada aspak dan bukannya melayang. Kedua sudut bibir Lia tanpa sadar ikut tertarik canggung. Lia merunduk lebih dulu, mengambil ponsel sembali mengumpat kecil, mengatai kebodohannya yang kerap kali hadir sejak beberapa bulan terakhir ini.

”Masih di sini, Nat?” tanya Lia basa-basi berusaha lebih santai.

Kelas mereka dibagi menjadi dua untuk kepentingan UAS sejak hari ini, absen 1-9 dan absen 10-18 berada di ruangan berbeda. Lia sudah yakin dari kemarin jika mungkin tak akan memiliki kesempatan melihat pemuda satu ini, atau paling tidak pemuda itu yang tak akan melihatnya karena sibuk berlalu lalang naik turun tangga hanya untuk ke kelas dan Ruang OSIS. Apalagi, Lia juga tidak bergabung berkunjung ke rumah Nathan kemarin ketika yang lain menjenguk dan berakhir ditinggal Nathan ke sekolah untuk menemui MPK.

Tapi sekarang, pemuda itu berdiri di depan pagar SMA Garuda masih dengan celana abu-abu dan hoodie mint yang membungkus tubuhnya. Wajah Nathan tampak jelas memerah, terutama dibagian ujung hidung, bawah mata, sampai terakhir kuping. Suara serak pemuda itu juga terdengar lebih parah daripada biasanya.

Win CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang