38. Their Friendship or Relationship?

252 53 34
                                    

"Ya?"

Lia bergumam, tak terlalu peduli.

"Tato bagus gak sih?"

Gadis yang awalnya mencoba fokus pada layar laptop tak menghiraukan Hessa di ranjang kamar jadi memutar kursi malas. Matanya menajam, memandang pemuda di depan saja sudah berlagak seolah ini kamarnya. Kepala Hessa bersandar pada punggung ranjang dengan bibir sibuk mengemili kuaci layaknya tuan besar.

"Lo ngapain sih di sini?"

Hessa mengangkat wajah dari layar ponsel. "Kan lo minta temen."

"Yessa ya anjir Yessa! Gue chat Yessa ngapain lo yang dateng?"

Garis wajah Hessa menurun dengan decakan kecil tak kalah kesal. "Yessa lagi kencan, weekend. Gue sebagai teman yang baik udah senang hati berinisiatif mengeluarkan tenaga jalan dari rumah gue ke sini cuman buat nemenin lo, makasih kek apa kek, gak bersyukur banget."

"Oke, makasih, sekarang lo pergi."

Lia masih kukuh dengan wajah congaknya, menunjuk pintu seperti menunjukkan pada Hessa jalan keluar. Tapi karena memang pada dasarnya Hessa juga keras kepala, pemuda itu justru makin menjadi dengan meluruskan kaki menidurkan tubuhnya di atas kasur Lia. Pemuda itu menyanggah kepalanya dengan sebelah tangan, sedikit miring untuk memandang Lia rendah.

Dengan bosan Lia membuang nafasnya kasar, menggesekkan kakinya dengan lantai agar bisa mendekat pada Hessa tanpa perlu bangkit dari kursi. "Mana sih? Coba lihat modelnya?"

Tubuh Hessa kembali menegak cepat, mengulurkan ponsel semangat. "Lihat deh lihat, bisa request juga kok."

"Ini di mana?"

"Deket Taman, Jeiden kemarin nganterin abang sepupunya ke sana, terus anaknya ngajak."

Lia mengangguk, mengamati layar ponsel Hessa yang menunjukkan berbagai motif tato. "Lo lama-lama temenan sama Jeiden beneran jadi banci copray jamet di lampu lalu lintas deh, Sa," cibir Lia pelan.

Umpatan refleks keluar dari bibir Hessa yang hanya dibalas dengan tawa ringan Lia. Gadis itu masih menggulir layar ponsel, beberapa kali berhenti pada satu motif yang dianggapnya menarik, tapi menggeleng kecil. Mata Lia berhenti tepat di salah satu motif bunga tulip setengah mekar, kalau digambar lebih kecil mungkin akan bagus.

"Mau lo taruh mana?"

Hessa diem beberapa saat, mengawasi bagian tubuhnya. "Lengan?"

"Gampang keliatannya, kalau Tante Selena tau bisa gak dikasih makan seminggu lo."

"Makan di sini lah, gampang."

Entah untuk keberapa kalinya Lia menggerutu, hampir melempar ponsel Hessa ke arah pemuda itu yang sudah berekspresi berlebihan menghindar. "Lo ujian renang kalau masing pengen topless mendingan jangan di tubuh atas deh, Sa. Paha?"

"Anjir, gak ada estetik-estetiknya."

"Ye, paling aman itu," balas Lia ngegass, "lo suka kaosan oblong keliatan banget di lengan, kalau tidur juga suka gak pakek baju bisa ketauan kalau di punggung. Sumpah deh paha paling aman, gak bakal ketauan Tante Selena."

"Enggak sudi deh gue gak sudi."

Gelengan kencang dilakukan Hessa dengan amat sangat yakin. Pemuda itu jadi membayangkan sendiri memiliki tato di bagian paha, tidak ada keren-kerennya. Sedangkan Lia jadi diam, mengamati Hessa sampai ujung rambut ke ujung kaki. Sebenarnya tampak benar-benar tampak sedikit lebih bagus jika ada tato di bagian lengan atas, sekitar bahu, atau punggung belakang.

"Ya udah deh tahan sampai lo lulus kuliah, gak usah aneh-aneh dulu mana segala nurutin Jeiden."

"Belakang telinga bisa gak sih, Ya? Kan ketutupan rambut?" Hessa masih belum menyerah, menawarkan letak lain.

Win CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang