Elia Neiva Palmyra atau yang kerap disapa Lia merupakan satu dari ratusan siswa di SMA Garuda. Tidak banyak yang bisa diceritakan dari sosok ramping dengan tinggi 162 cm itu selain kehidupan monotonnya. Ia tak akan jauh-jauh dari kata belajar dan belajar, bukan karena Lia suka, tapi karena ia harus bisa. Orang tuanya adalah mantan pemilik dari salah satu rumah sakit ternama, Myra Internasional Hospital, yang sekarang ini diambil alih oleh sang Kakak, Leny Arika Palmyra.
Tidak ada paksaan, tidak ada tuntutan, atau arahan dari sang Kakak yang menganjurkan Lia untuk tetap berada di bidang kedokteran seperti keluarganya. Hanya saja, Lia cukup tau diri untuk tidak lari dari kenyataan bahwa masa depannya telah ditakdirkan oleh garis darah dari orang tua mereka. Setidaknya ia sadar bahwa miliknya sekarang adalah hasil kerja keras sang Kakak sehingga tidak bisa Lia hamburkan secara cuma-cuma.
"Gue ada urusan ke Bandung, mungkin lima hari."
Lia yang baru saja keluar dari kamar lengkap dengan seragam putih abu-abu mengangguk, memandang sosok perempuan dengan garis wajah persis dengannya di meja makan. "Hm," gumam gadis itu begitu saja.
"Uang bulanan lo masih?"
Bukan gumaman, kali ini anggukan sederhana yang Lia lakukan sebagai respons dari pertanyaan Kak Leny. "Lia berangkat," pamit gadis itu segera melangkah keluar dari rumah.
Ada terlalu banyak luka antara keduanya. Kehilangan kedua sosok orang tua secara sekaligus ketika masih kecil membuat Lia bingung harus berekspresi seperti apa, terlalu tak mengerti apa-apa untuk menangis dan sekarang ia terlalu berlebihan jika menganggap ia penuh luka karena kehilangan kedua orang yang memang sedari awal belum bisa ia rasakan kehadirannya secara nyata. Pada akhirnya Lia hanya bisa diam di saat Kak Leny menganggap segala hal tetap baik-baik saja.
Sejak awal keduanya hidup dalam keheningan luar biasa. Tanpa bertukar luka, tanpa bertukar perasaan, bahkan tanpa bertukar keinginan terpendam satu sama lain. Selama Lia tau Kak Leny sehat dan baik-baik saja, begitu pula sebaliknya, itu cukup.
"BAA!"
Mata bulat Lia refleks terpejam dengan sedikit rasa terkejut tak terlihat. "Lo sekali lagi-"
"Happy birthday," ujar Hessa cepat menyodorkan permen Mentos rasa buah, "besok kadonya menyusul kalau gue udah dapet duit saku."
Kedua sisi bibir mungil berbentuk hati milik Lia tertarik dengan terpaksa. "Makasih, tapi ulang tahun gue masih tahun depan."
"Simulasi dulu."
Lia berdecak malas, menyahut permen Mentos dari Hessa dengan wajah masam. Gadis itu mengangguk pelan, menunjukkan senyum hingga matanya berbentuk bulan sabit sebelum melangkahkan kaki melewati tubuh menjulang Hessa. Namun langkah kaki Lia kembali terjeda begitu menyadari tak ada wujud motor besar hitam Hessa.
"Motor lo mana?" tanya Lia melirik Hessa yang mengekor di belakang tubuhnya.
"Seperti rekomendasi lo semalam dan malam-malam sebelumnya, gue jual."
"Gue lebih percaya Uchiha Itachi hidup lagi daripada lo jual motor."
Hessa terkekeh pelan. "Sekali-kali jalan, kayak gue gak pernah nemenin lo jalan aja."
"Sa," panggil Lia dengan helaan nafas panjang, "lo tau gak kenapa selama ini lo gak dapet pacar? Karena lo deket sama gue goblok!"
"Semesta deket sama lo buktinya punya pacar."
"Ya deket mah deket aja, deket temen," jawab Lia mulai tak santai, "lo pernah gak liatin Semesta, Felix, atau Hadi ngintilin gue ke tempat les? Pernah gak lo liat tiga anak itu nyamper gue ke rumah? Pernah gak lo tahu tiga anak itu random dateng ke rumah gue bawa motor seolah jadi ojek pribadi? Pernah gak?" lanjut gadis itu menyebut semua pemuda yang tinggal di Komplek Permata Mandiri tempat ia tinggal, kembali mengungkit kelakuan Hessa yang menurutnya sudah terlalu berlebihan untuk ukuran teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Win Crown
Teen FictionRated: 15+ Mentahan cover from Pinterest Dialy life from XI-IPA5. Tentang 12 siswa laki-laki dengan 6 siswa perempuan dan kisah SMA mereka. Kalau kamu tanya apakah ini cerita tentang Ketua OSIS yang jatuh cinta? Mungkin saja. Kalau kamu tanya apakah...