68. Cara Pandang si Ketua Kelas

225 45 14
                                    

Rasa senang selalu berbanding terbalik dengan kesedihan yang akan datang.

Lia masih mengenakan prinsip itu sampai detik ini. Dari dulu, gadis itu selalu membatasi rasa senangnya akan sesuatu. Memanipulasi perasaan, mengolah cara berpikir, melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda, menurut Lia itu bukan hal yang sulit lagi ia lakukan. Ia terlalu takut untuk berada di tengah-tengah kebahagian, benar-benar takut karena sejak awal tujuan Lia berdiri di sini hanya karena tujuannya. Sekedar tujuan yang tak pernah jadi impiannya.

”Ya,” panggil Chaerra pelan masih dengan peluh membasahi keringatnya, ”jadi ikut ke rumah gue kan?”

”Gue sama Arina, lo sama yang lain ikut mobil Jeiden, gitu kan?” tanya Lia dengan senyum kecil, menyodorkan sebotol air mineral.

Chaerra mengangguk. ”Sip, buat promnight dandan di rumah gue. Adik gue siap jadi MUA.”

Lia tak terlalu mengikuti acara hari ini, gadis itu sejak tadi fokus pada ponsel barunya, baru menginstal ulang seluruh aplikasi penting yang ia butuhkan dan memasukkan username serta kata sandi untuk beberapa akun sosial medianya. Memeriksa ulang pada penyimpanan drive, memastikan tidak ada dokumen yang lupa ia upload atau setidaknya masih sempat ia salin ke laptop sebelumnya. Salah satu alasan kenapa Lia selalu menggandakan dokumen penting adalah karena kejadian seperti ini masih punya peluang untuk terjadi.

”Ya,” panggil Chacha pelan, ”make up gue masih keliatan gak?”

Lia merogoh tas slempang putih yang siang ini ia kenakan melengkapi jas birunya, mengeluarkan satu bungkus tisu. ”Udah gak keliatan kok, tapi mending lap dulu, biar gak keliatan basah, mau?”

Chacha mengangguk, menerima tisu dari Lia untuk mengusap wajahnya. ”Arina mana? Bentar lagi band-nya Juna tampil kok dia gak ada?”

”Penutupan dulu, habis itu baru band-nya Juna,“ jelas Lia masih ingat dengan jadwal yang Jumat kemarin diserahkan pihak OSIS padanya, ya, pihak OSIS, bukan Nathan, ”tadi katanya mau nemenin di backstage.”

”Senya masih sama anak Cheers ya?”

”Tadi udah balik kok, masih ganti baju mungkin,” kata Lia menunjuk arah kepergian Chaerra yang sebelumnya juga merupakan arah kepergian Senya, ”Eli katanya bentar lagi ke sini, udah gue chat.”

Chacha mengangguk, memandang gadis di sisinya yang masih fokus pada panggung tempat tari tradisional kini ditampilkan. Rambut Lia yang dipotong di bawah bahu tergerai cantik, dengan inner dress hitam di atas lutut dan jas sebagai atasan dan sepatu tinggi yang menutupi hingga di bawah lutut. Dress code untuk acara Gelar Seni tahun ini memang biru navy, tapi daripada hanya sebagai seorang siswa biasa yang tengah menikmati acara tahunan, menurut Chacha penampilan Lia justru seperti mahasiswa yang tengah berkunjung ke SMA-nya.

”Ya,“ panggil Chacha pelan, ”entar ambil pakaian di rumah lo dulu atau langsung pakek pakaiannya Chaerra?”

”Lo maunya gimana?”

”Jaga-jaga bawa pakaian lo ya,” mohon Chaerra, ”takut kalau pakaiannya Chacha kebesaran tauk, lo tau sendiri tuh anak tubuhnya menjulang tinggi.”

”Gak setinggi Yessa sama Katharina.”

”Ya kan tetep aja tinggi.”

Lia terkekeh kecil, mengangguk pelan. ”Entar gue sama Arina mampir rumah dulu, buat ambil pakaian.”

Senyum Chacha mengembang, jempol gadis itu maju mengarah ke pipi Lia membuat si empu mendesis kesal. Tidak berselang lama, Chaerra dan Senya menyusul, duduk di sisi Chacha melengkapi bangku bagian XI-IPA5 yang banyak kosong. Setelah pertunjukkan tari tradisional dari ekskul tari, ekskul tata busana mulai ajang kebolehan dengan pertunjukkan fashion show baju-baju daerah yang dibuat oleh tangan-tangan dari siswa Garuda. Diiringi mars SMA Garuda, acara fashion show mengakhiri Gelar Sini yang diadakan sampai sore hari ini. Jika pembukaan tari pagi diawali oleh Jeno dan Ardi, kali ini Nathan maju sebagai perwakilan OSIS yang menutup acara ini dan mengumumkan acara promnight nanti malam akan dimulai pukul 20.00 sampai 22.00 di aula utama Garuda.

Win CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang